Czytaj książkę: «Bangkitnya Para Naga», strona 5

Czcionka:

"Aku takkan terluka," Kyra memohon.

Anvin terdiam beberapa saat lamanya, hingga akhirnya menghela nafasnya.

"Kurasa tak ada salahnya dicoba," kata Anvin. "Anggap saja ini demi membuatmu berhenti merengek. Tentu saja jika para prajurit ini tidak keberatan," imbuh Anvin sambil menoleh ke arah para prajurit.

"AYE!" teriak selusin anak buah ayahnya bersamaan, mereka semua bersemangat mendukung Kyra. Kyra sangat senang mereka mendukung dirinya, hingga tak dapat ia lukiskan betapa senang dirinya. Ia melihat betapa mereka mengagumi dirinya, sama halnya seperti mereka mencintai ayahnya. Kyra tak punya banyak teman, dan para prajurit ini adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Maltren mencemooh.

"Kalau begitu, biarlah gadis ini mempermalukan dirinya sendiri," kata Maltren. "Akan kuberi pelajaran padanya sekali ini dan untuk selamanya."

Terompet dibunyikan, dan setelah para prajurit lain berdiri melingkar, Kyra masuk ke dalam arena.

Kyra merasa semua pandangan mata tertuju padanya, tampak jelas mereka khawatir. Ia berhadapan dengan lawannya, seorang pria jangkung berumur tiga puluhan dengan badannya yang kekar, seorang prajurit kuat yang telah ia kenal sejak ia perayaan ulang tahun ayahnya di balairung benteng. Sejauh yang dapat ia lihat, ia tahu bahwa pria ini adalah petarung yang baik—namun juga petarung yang kelewat percaya diri, menyerang terlalu cepat sejak awal pertempuran, dan agak ceroboh.

Ia memandang Anvin, mukanya merengut.

"Hinaan macam apa pula ini?" tanya Maltren. "Aku tak mau melawan seorang gadis."

"Kau mempermalukan dirimu sendiri jika takut bertarung melawanku," balas Kyra geram. "Aku punya dua tangan dan dua kaki, sama sepertimu. Jika kau tak mau bertarung melawanku, maka mengakulah kalah!"

Maltren berkedip, terkejut, lalu memandang padanya dengan marah.

"Baiklah kalau begitu," kata Maltren. "Jangan mengadu pada ayahmu jika nanti kau kalah."

Maltren maju secepat kilat, tepat seperti dugaan Kyra; Maltren mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu menebaskannya kuat-kuat, mengincar bahu Kyra. Kyra telah siap dengan gerakan semacam itu, gerakan yang telah sering ia lihat dilakukan oleh Maltren, gerakan yang mudah ditebak dari ayunan lengannya. Pedang kayu yang dipegang Marlet memang sangat kuat, namun sekaligus berat dan kalah gesit dari tongkat Kyra.

Kyra mengamati tiap gerakan Maltren dengan cermat, menunggu saat yang tepat, dan ia melangkah ke samping, sehingga tebasan yang kuat itu berkelebat di sampingnya saja. Dalam satu gerakan, Kyra memutar tongkatnya dan memukulkannya di sisi bahu Maltren.

Maltren mengerang karena ia terdorong ke luar arena. Ia berdiri di situ, tertegun dan kesal karena ia harus mengakui kekalahannya.

"Ada lagi lainnya? tanya Kyra sembari tersenyum lebar, ia putar badannya dan memandang semua orang yang berdiri melingkar di tepi arena.

Hampir semua prajurit di situ tersenyum; mereka jelas bangga pada dirinya, bangga melihat Kyra telah tumbuh besar dan telah mencapai titik ini. Kecuali Maltren, tentunya, yang merengut marah padanya. Sepertinya ia hendak menantang Kyra lagi, ketika tiba-tiba seorang prajurit lain muncul, menghadapinya dengan tatap mata serius. Pria ini lebih pendek dan lebih gempal, dengan jenggot kemerahan yang tak bercukur dan sorot mata yang ganas. Dari caranya memegang pedang, Kyra tahu bahwa pria ini adalah lawan yang lebih berat daripada Maltren. Ia menganggapnya sebagai sebuah pujian: akhirnya mereka mulai memperhitungkan kemampuan Kyra dengan sungguh-sungguh.

Pria itu menyerang, dan Kyra tak mengerti entah mengapa seolah gerakan yang harus ia lakukan terasa sangat mudah. Seakan-akan nalurinya bangkit dan memandu dirinya. Ia merasa badannya jauh lebih ringan dan lebih gesit dari para pria itu, yang mengenakan baju zirah berat dan pedang kayu yang besar. Mereka semua bertarung dengan mengandalkan kekuatan, dan mereka berharap lawannya akan melawan dan menangkis serangan mereka. Namun Kyra lebih senang mengelak menghindarinya, dan ia tak mau mengikuti pola pertarungan mereka. Mereka mengandalkan kekuatan—namun Kyra lebih mengandalkan kecepatan.

Tongkat itu bergerak kian kemari seolah menjadi perpanjangan tangan Kyra; ia memutarnya dengan cepat hingga lawannya tak sempat bereaksi, lawannya belum selesai bergerak sedangkan Kyra telah berpindah ke belakangnya. Lawannya kali ini menerjang ke arah dadanya—namun ia hanya perlu melangkah ke samping dan mengayunkan tongkat, memukul pergelangan tangan lawannya dan membuat pedang terpental dari genggamannya. Kemudian Kyra memutar tongkatnya lagi dan memukul kepala pria itu.

Terompet dibunyikan tanda kemenangan baginya, dan pria itu menatap Kyra dengan terkesima, sembari memegangi keningnya yang terpukul, sedangkan pedangnya tergeletak saja di tanah. Kyra sendiri agak terkejut saat melihat akibat dari serangannya, sedangkan ia tak sedikitpun terluka.

Kyra justru menjadi lawan tanding yang sulit ditaklukkan, dan kini, para prajurit itu tak ragu-ragu lagi, mereka mengantri untuk menguji kemampuannya melawan Kyra.

Badai salju datang saat obor-obor dinyalakan untuk menerangi senja yang tiba, dan Kyra masih terus berlatih, bertanding melawan seorang demi seorang dari para prajurit itu. Mereka tak dapat tersenyum lagi: raut muka mereka berubah serius, kusut, dan sangat kesal karena tak ada yang mampu menyentuh Kyra barang sedikit pun—dan mereka masing-masing berhasil dikalahkan. Saat melawan seorang dari mereka, ia melompat melewati kepalanya sambil berlari, berguling di udara dan mendarat di belakang badan prajurit itu, lalu memukul bahunya; dengan lawan yang lain lagi, ia merunduk dan bergulung di tanah, tangannya kirinya bergantian memegang tongkat dan ia mendaratkan pukullan telak yang tak terduga. Ia melakukan gerakan yang berbeda-beda untuk masing-masing lawan; separuh dirinya bagai pemain akrobat, dan separuh lainnya bagai ahli pedang, sehingga tak satu pun lawan dapat menerka serangannya. Satu persatu prajurit tersingkir dengan malu, masing-masing terkesima karena harus mengakui kekalahannya.

Maka tak butuh waktu lama, kini tinggal beberapa gelintir prajurit saja yang tersisa. Kyra berdiri di tengah lingkaran, bernafas terengah-engah dan mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menantang seorang lawan baru. Anvin, Vidar dan Arthfael mengawasinya dari sisi arena, wajah mereka semua tersenyum, menyiratkan tatapan penuh kagum. Jika ayahnya tak ada di situ untuk menyaksikan dan merasa bangga pada dirinya, setidaknya ada ketiga pria inilah yang merasa bangga.

Lagi-lagi Kyra mengalahkan seorang lawan, kali ini dengan pukulan di belakang lutut, dan lagi-lagi terompet dibunyikan, lalu akhirnya saat tak tersisa lagi seorang lawan pun, Maltren kembali masuk ke arena.

"Tipuan anak kecil," Maltren meludah sembari berjalan mendatangi Kyra. "Kau bisa memutar-mutar tongkatmu. Namun dalam pertempuran, itu tak ada gunanya. Saat melawan pedang yang sesungguhnya, tongkatmu akan terpotong menjadi dua."

"Begitukah?" tanya Kyra mantap dan tanpa takut; ia merasakan darah ayahnya mengalir dalam dirinya dan ia tahu bahwa ia harus selalu berani menghadapi si pengganggu ini, terlebih di depan para prajurit itu.

"Kalau begitu, mengapa tidak kita coba saja?" tantang Kyra.

Mata Maltren berkejap karena terkejut, tak menyangka akan mendapatkan jawaban semacam itu. Lalu disipitkanlah matanya.

"Mengapa?" balas Maltren. "Agar kau bisa minta perlindungan pada ayahmu?"

"Aku tak butuh perlindungan ayahku, atau perlindungan siapa pun," balas Kyra. "Ini antara aku dan kau—apa pun risikonya."

Maltren memandang Anvin dan ia merasa gugup, seolah ia baru saja masuk ke dalam lubang yang digalinya sendiri, dan tak dapat keluar dari situ.

Anvin balas menatapnya, sama geramnya.

"Bertandinglah dengan pedang kayu ini," ujar Anvin. "Aku tak mau ada seseorang yang terluka di bawah pengawasanku—terlebih jika orang itu adalah anak komandanku."

Namun Maltren sontak meradang.

"Gadis ini ingin bertarung dengan senjata yang sesungguhnya, maka biarlah ia memakainya," kata Maltren dengan keras. "Ia mungkin harus diberi pelajaran."

Tanpa berkata panjang lebar lagi, Maltren masuk ke dalam arena dan menghunus pedang dari sarungnya, bunyi gesekannya terdengar nyaring. Ketegangan mulai memuncak, semua orang terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Kyra memandang Maltren; telapak tangannya terasa hangat meskipun udara dingin, meskipun angin berembus kencang meniup lidah-lidah api dari obor-obor yang menyala. Ia dapat merasakan salju membeku, bergemeretak terinjak kasutnya, dan ia berusaha memusatkan perhatian, berkonsentrasi, karena ia tahu ini bukanlah pertarungan yang mudah.

Maltren berteriak nyaring untuk menakut-nakuti Kyra, lalu ia menyerang, mengangkat tinggi-tinggi pedangnya yang berkilauan oleh cahaya obor. Ia tahu, Maltren bukanlah seorang petarung biasa, ia lebih sulit ditebak, lebih urakan; ia adalah seseorang yang bertarung untuk bertahan hidup, bukan demi sekadar mencari kemenangan. Kyra terkejut karena Maltren mengayunkan pedang mengincar dadanya.

Kyra merunduk menghindari arah tebasan pedang.

Para prajurit yang menyaksikan pertarungan ini terkesima, marah, lalu Anvin, Vidar dan Arthfael segera melangkah maju.

“Maltren!” hardik Anvin marah, ia hendak menghentikan pertarungan itu.

"Tidak!" balas Kyra berteriak, sambil tetap berkonsentrasi pada Maltren, lalu menarik nafas panjang saat Maltren menyerangnya lagi. "Biarkan kami bertarung!"

Maltren sekonyong-konyong berputar dan mengayunkan pedangnya lagi—ia menyerang tanpa henti. Kyra selalu mengelak, mundur, atau melompat menghindari tebasan pedang. Maltren memang kuat, namun gerakannya tak secepat Kyra.

Maltren mengangkat pedangnya ke atas dan menebaskannya ke bawah, berharap Kyra akan menangkisnya dan tongkatnya akan patah.

Namun Kyra mengerti siasat itu dan ia mengelak, lalu mengayunkan tongkat ke samping, memukul sisi tumpul pada pedang Maltren, membelokkan arah pedangnya agar tongkatnya tak patah. Dalam satu gerakan yang sama, ia memanfaatkan pertahanan Maltren yang terbuka, lalu ia mengayunkan tongkatnya dan menonjok ulu hati Maltren.

Maltren menjerit dan satu lututnya roboh, lalu terompet dibunyikan.

Maka bersoraklah seluruh prajurit itu, mereka memandang penuh kagum pada Kyra yang berhasil merobohkan Maltren; ia menjadi pemenangnya.

Maltren naik pitam dan menatap tajam pada Kyra—dan bukannya mengaku kalah seperti prajurit lainnya, ia tiba-tiba menyerang lagi, mengangkat pedang dan menebaskannya ke arah Kyra.

Itu adalah sebuah gerakan yang tak Kyra duga, karena ia merasa telah berhasil menjadi pemenang. Saat Maltren mendekat, Kyra sadar bahwa ia tak bisa banyak bergerak dalam posisi tak siap seperti itu. Ia tak mungkin dapat menghindar pada waktunya.

Kyra merunduk ke tanah, berguling menghindari serangan, dan pada saat yang sama mengayunkan tongkatnya dan memukul bagian belakang lutut Maltren, ia menjegal kaki Maltren.

Maltren terjungkal dengan punggung membentur salju, pedang terlepas dari genggamannya—lalu Kyra segera bangkit dan berdiri di atasnya, mengarahkan ujung tongkat ke tenggorokan Maltren lalu menekannya. Saat itu juga, Leo ikut berdiri di samping Kyra dan menggeram tepat di depan muka Maltren, hanya beberapa inchi saja jaraknya sehingga liurnya menetes di pipi Maltren, siap menunggu perintah untuk menerkamnya.

Maltren memandang Kyra; darah mengalir di bibirnya, ia tertegun dan malu.

"Kau membuat malu anak buah ayahku," Kyra menatapnya marah. "Menurutmu, bagaimana tongkat kecilku ini?"

Kebisuan yang menegangkan menyelimuti saat Kyra mengunci Maltren di bawah; sebagian dari dirinya ingin mengangkat tongkatnya dan memukul Maltren, ingin memerintahkan Leo untuk menyerangnya. Tak ada satu prajurit pun yang berusaha mencegahnya atau datang membantu Maltren.

Menyadari bahwa tak ada yang membantunya, Maltren memandang Kyra penuh ketakutan.

“KYRA!”

Sebuah suara kasar tiba-tiba memecah kesunyian.

Semua mata berpaling, dan tiba-tiba saja ayahnya telah muncul; ia berjalan menuju ke arena, mengenakan mantel bulunya, diiringi selusin pengawal dan ia menatap Kyra marah.

Ia berhenti beberapa langkah di depan Kyra; Kyra balas menatap matanya, dan ia telah menerka kata-kata apa yang akan meluncur dari mulut ayahnya. Saat mereka saling berhadapan, Maltren berusaha bangkit berdiri lalu berlari terbirit-birit, dan Kyra heran mengapa ayahnya tidak menegur Maltren, namun malahan marah pada dirinya. Hal itu membuatnya marah; kedua ayah dan anak ini saling berpandangan berhadap-hadapan dipenuhi kemarahan; Kyra dan ayahnya sama-sama keras kepala, tak satu pun mau mengalah.

Akhirnya, tanpa berkata sedikit pun, ayahnya berpaling, diikuti oleh para pengawalnya dan berjalan kembali ke benteng; ia tahu bahwa Kyra pasti akan mengikutinya. Ketegangan reda saat semua prajurit berjalan mengikuti ayahnya, dan Kyra pun demikian, meski dengan enggan. Kyra berjalan terseok-seok menembus lapisan salju; ia melihat cahaya menyala di benteng, jauh di depan sana, dan ia tahu bahwa ayahnya akan memarahinya—namun ia tak peduli.

Entah ayahnya mengakui kemampuannya atau tidak, toh hari ini para prajurit itu telah mengakuinya—dan bagi Kyra, itulah hal yang paling penting. Ia tahu bahwa mulai hari ini dan seterusnya, segala sesuatu akan berubah.

BAB ENAM

Kyra berjalan di sisi ayahnya menyusuri koridor batu di Benteng Volis, benteng yang menjulang tinggi seukuran sebuah kastil kecil, dengan dinding batu yang halus, langit-langit yang mengerucut, pintu kayu yang besar dan penuh hiasan, sebuah benteng kuno yang menjadi tempat kediaman para Penjaga Benteng Api dan melindungi Escalon selama berabad-abad lamanya. Benteng ini merupakan sebuah benteng penting bagi Kerajaan, dan sekaligus rumah baginya, satu-satunya rumah yang pernah ia ketahui. Ia seringkali tertidur mendengar suara para prajurit yang berpesta di balairung, anjing yang menggeram berebut sisa makanan, perapian yang berdesis dengan bara yang mulai redup, dan desiran angin yang berembus melalui celah-celah. Dengan seluruh sekat-sekat ruangan yang ada, ia sangat menyukai setiap sudut dalam benteng ini.

Sambil berusaha mengikuti langkah ayahnya, ia menerka-nerka apa gerangan yang tengah membuat ayahnya gundah. Mereka berjalan bergegas, membisu, dengan Leo di samping mereka; mereka terlambat datang ke pesta perayaan, dan di sepanjang koridor itu, para prajurit dan pelayan tampak tegang melihat kedatangan mereka. Ayahnya berjalan lebih cepat dari biasanya, dan meskipun mereka sangat terlambat, ia tahu bahwa berjalan secepat itu bukanlah tabiat ayahnya. Biasanya mereka berjalan bersebelahan, dengan senyum yang siap tersungging di balik jenggotnya, melingkarkan tangan di bahu Kyra, dan kadang-kadang menceritakan lelucon-lelucon untuk mengingat kembali kenangan di masa lalunya.

Namun kini mereka berjalan dengan muram, muka ayahnya kesal; ia berjalan beberapa langkah di depan Kyra dan wajah ayahnya masam karena kesal, raut wajah yang jarang ia lihat. Ia juga tampak gundah, dan ia menduga bahwa penyebabnya tak lain adalah karena peristiwa yang terjadi sore tadi, yaitu kedua kakaknya yang berburu dengan sembarangan dan para Pasukan Pengawal yang merebut babi hutan itu—dan mungkin juga karena ia yang bertanding di arena latihan. Awalnya Kyra mengira bahwa ayahnya hanya terlalu larut dalam perayaan itu—pesta perayaan memang selalu menjadi beban bagi ayahnya, karena ia harus menjamu begitu banyak prajurit dan tamu hingga lewat tengah malam, karena pesta semacam ini adalah sebuah tradisi kuno. Sewaktu ibunya masih hidup dan menjadi tuan rumah bagi perhelatan ini, Kyra diberitahu bahwa tugas menjamu tamu terasa lebih ringan bagi ayahnya. Ayahnya bukanlah seseorang yang luwes dalam bergaul, dan ia harus berusaha keras menyesuaikan diri dengan acara yang dihadiri banyak orang.

Namun lantaran kebisuan itu telah berlangsung sekian lama, Kyra mulai menerka-nerka apakah penyebabnya adalah sesuatu hal yang sama sekali berbeda? Ia menduga, kemungkinan besar penyebabnya adalah karena dirinya yang bertanding di arena latihan bersama para prajurit. Hubungan Kyra dengan ayahnya yang dahulu sangat sederhana, kini menjadi semakin rumit seiring ia beranjak dewasa. Tampaknya, ayahnya merasakan dua hal yang saling bertentangan soal apa yang harus ia lakukan pada Kyra, soal harapannya tentang akan menjadi seperti apakah Kyra kelak. Di satu sisi, ayahnya sering mengajarkan prinsip-prinsip seorang prajurit, bagaimana semestinya seorang ksatria berpikir dan bertindak. Mereka telah banyak berbicara soal keberanian, kehormatan, semangat dan ayahnya sering tidur hingga larut malam untuk menceritakan kisah-kisah pertempuran yang dilalui oleh nenek moyang mereka, kisah-kisah yang kini menjadi tujuan hidup Kyra, dan satu-satunya kisah yang ingin Kyra dengar.

Namun di sisi lain, Kyra merasa ayahnya seperti menahan diri saat membicarakan hal-hal semacam itu, tiba-tiba diam membisu, seolah ia sadar tak seharusnya ia membicarakan hal itu, seolah ia sadar telah menumbuhkan sesuatu dalam diri Kyra dan kini ingin memupusnya kembali. Berkisah tentang peperangan dan keberanian merupakan kesukaannya yang lain, namun saat kini Kyra bukan lagi seorang gadis kecil, setelah ia beranjak menjadi wanita yang dewasa dan tumbuh menjadi seorang prajurit, ada satu sisi dalam diri ayahnya yang tampaknya terkejut oleh perubahan itu, seolah ayahnya tak pernah berharap Kyra tumbuh mendewasa. Sepertinya, ayahnya tak benar-benar mengerti bagaimana menghadapi anak perempuannya yang tengah tumbuh, terlebih anak perempuan yang ingin menjadi seorang prajurit ini, seakan ayahnya tak mengerti jalan apa yang harus dipilihkannya untuk Kyra. Kyra mengerti ayahnya tak tahu harus berbuat apa pada Kyra, dan ada satu sisi dalam diri ayahnya yang merasa tak nyaman berdekatan dengan dirinya. Namun ayahnya toh diam-diam bangga pada dirinya, itu yang ia rasakan. Hanya saja, ayahnya tak mau menunjukkan perasaan itu.

Kyra tak tahan lagi dengan kebisuan ini—ia harus tahu apa penyebabnya.

"Apakah ayah khawatir tentang pestanya?" tanya Kyra.

"Mengapa aku harus khawatir?" balas ayahnya tanpa memandang Kyra; ini adalah tanda yang jelas bahwa ayahnya tengah marah. "Semua telah disiapkan dengan baik. Dan sebenarnya, kita yang terlambat. Jika ayah tak pergi ke Gerbang Petarung untuk mencarimu, maka saat ini ayah pasti sudah duduk di ujung meja," tukas ayahnya kesal.

Akhirnya ia tahu, penyebabnya adalah: karena ia bertarung. Namun kemarahan ayahnya ini membuat Kyra juga marah. Toh, ia berhasil mengalahkan anak buah ayahnya dan Kyra layak mendapat pujian darinya. Akan tetapi, ayahnya malah bersikap seolah tak terjadi apa-apa; pun bila ada sesuatu yang terjadi, maka kejadian itu tak berkenan bagi ayahnya.

Kyra ingin mendapat pengakuan jujur ayahnya, dan saking sebalnya, ia lalu memancing-mancing ayahnya.

"Tidakkah ayah lihat aku mengalahkan anak buah ayah?" kata Kyra; ia ingin mempermalukan ayahnya, demi mendapatkan pengakuan yang tak diberikan olehnya.

Kyra melihat wajah ayahnya memerah samar-samar, namun ayahnya hanya membisu sepanjang jalan—dan itu membuat Kyra semakin kesal.

Mereka berdua terus berjalan melintasi Balairung Para Pahlawan, melintasi Bangsal Kebijaksanaan, dan mereka hampir tiba di Balairung Utama saat akhirnya Kyra benar-benar tak tahan lagi.

"Ada apa, Ayah?" desak Kyra. "Jika ayah marah padaku, katakanlah."

Ayahnya pun akhirnya berhenti tepat sebelum pintu melengkung menuju ke balairung pesta, berpaling dan memandang dirinya dengan wajah yang dingin. Tatapan itu membuat Kyra takut. Ayahnya, seseorang yang ia cintai lebih dari segala sesuatu di dunia ini, yang selalu tersenyum untuknya, kini tampak memandang seakan Kyra adalah seorang asing. Kyra tak dapat memahami hal ini.

"Ayah tak ingin melihatmu di arena latihan itu lagi," katanya; suaranya yang dingin menyiratkan amarah.

Nada suara ayahnya itu melukai hati Kyra, jauh lebih menyakitkan daripada kata-kata yang diucapkannya, dan Kyra merasakan semacam getaran pengkhianatan mengalir dalam darahnya. Jika cara berbicara semacam itu berasal dari orang lain, maka Kyra tak akan ambil pusing—namun jika itu berasal dari ayahnya, orang yang sangat ia cintai dan sangat ia andalkan, orang yang selama ini selalu bersikap baik padanya, nada suara semacam itu membuat darahnya seolah membeku.

Namun Kyra bukanlah seorang gadis yang mudah menyerah—itu adalah sebuah sifat yang ia warisi dari ayahnya.

"Mengapa begitu?" desaknya.

Raut muka ayahnya pun semakin muram.

"Ayah tak harus punya alasan untuk melarangmu," ujar ayahnya. "Aku adalah ayahmu. Ayah adalah komandan benteng ini, pemimpin para prajurit itu. Dan ayah tak ingin kau berlatih bersama mereka."

"Apakah ayah khawatir aku akan mengalahkan mereka?" kata Kyra memancing agar ayahnya berbicara lebih banyak; ia tak ingin ayahnya menyudahi perdebatan ini untuk selamanya.

Muka ayahnya merah, dan Kyra tahu bahwa kata-katanya telah menyinggung ayahnya.

"Kesombongan adalah sifat orang biasa, bukan sifat seorang prajurit," tegur ayahnya.

"Tapi aku bukan seorang prajurit, bukan begitu, Ayah?" desak Kyra.

Mata ayahnya menyipit, tak mampu menjawab.

"Hari ini adalah hari ulang tahunku yang kelima belas. Apakah ayah ingin agar aku bertarung melawan pepohonan dan ranting-ranting seumur hidupku?"

"Ayah tak ingin kau bertarung sama sekali," tukas ayahnya. "Kau adalah seorang gadis—dan kini kau adalah seorang wanita. Mestinya kau melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh wanita—memasak, menjahit—segala sesuatu yang akan diajarkan ibu padamu andai ia masih hidup."

Kini raut muka Kyra yang masam.

"Maafkan aku karena aku bukanlah seorang gadis seperti yang ayah inginkan," balas Kyra. "Maafkan aku karena tidak bisa menjadi seperti gadis-gadis yang lain."

Kini berganti raut muka ayahnya yang tersinggung.

"Namun aku adalah anak gadis ayahku," lanjut Kyra. "Aku adalah anak gadis yang ayah besarkan. Dan jika ayah tidak menyukaiku, maka ayah juga tak menyukai diri ayah sendiri."

Kyra berdiri di situ dengan berkacak pinggang, matanya yang berwarna abu-abu terang memancarkan keteguhan seorang prajurit, sinar mata Kyra berkilat di mata ayahnya. Ayahnya balas menatap Kyra dengan matanya yang berwarna coklat, yang tersembunyi di balik rambut dan jenggotnya yang berwarna coklat pula, dan ayahnya menggelengkan kepala.

"Ini adalah hari perayaan, sebuah pesta perayaan yang diadakan bukan hanya untuk para prajurit saja, namun juga untuk para tamu dan orang-orang ternama," kata ayahnya. Para tamu undangan akan berdatangan dari seluruh penjuru Escalon, dan dari negeri-negeri asing." Ayahnya menatap Kyra dengan marah dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kau mengenakan pakaian prajurit. Kembalilah ke kamarmu dan kenakanlah gaun wanita, seperti yang dipakai para wanita di meja perjamuan."

Kyra meradang kesal—dan ayahnya membungkuk lalu mengacungkan jarinya.

"Dan ayah tak ingin melihatmu di arena latihan bersama prajurit-prajurit ayah lagi," kata ayahnya.

Ayahnya berpaling dengan cepat saat para pelayan membukakan pintu besar itu untuknya, dan suara membahana riuh rendah menyambut kedatangannya, disertai dengan aroma daging panggang, wajah-wajah yang urakan dan semangat yang bergelora. Musik bertalu-talu di udara, dan riuh rendah aktivitas di dalam balairung sangat ramai. Kyra melihat ayahnya berpaling dan memasuki balairung, demikian pula para pengawalnya.

Sejumlah pelayang menahan pintu agar tetap terbuka, menanti Kyra yang masih berdiri kesal, bimbang menentukan apa yang harus ia lakukan. Ia belum pernah semarah ini seumur hidupnya.

Akhirnya ia berbalik arah dan berlalu bersama Leo, menjauhi balairung, kembali ke kamarnya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia membenci ayahnya. Ia pikir ayahnya adalah seorang pria yang berbeda, sosok yang jauh lebih baik; namun kini ia tahu bahwa ayahnya tak sehebat anggapannya—dan menyadari hal itu membuat hatinya sangat sakit. Merenggut sesuatu yang paling disukainya—yaitu arena latihan—terasa bagai menancapkan belati di hatinya. Membayangkan bahwa ia harusnya menjalani hidup sebagai wanita yang lemah lembut membuatnya merasakan keputusasaan yang jauh lebih dalam daripada yang ia pikirkan selama ini.

Ia ingi pergi dari volis—dan tak pernah kembali lagi.

*

Komandan Duncan duduk di ujung meja perjamuan di dalam balairung pesta di benteng Volis, dan ia memandang seluruh keluarganya, para prajuritnya, rakyatnya, pembimbingnya, penasihatnya, dan para tamunya—jumlahnya lebih dari seratus orang, semuanya duduk berjejer mengelilingi meja perjamuan untuk pesta perayaan ini—hatinya gundah. Dari antara semua orang yang duduk di hadapannya, satu-satunya orang yang selalu ia pikirkan adalah sekaligus satu-satunya orang yang paling tidak ingin ia temui: putrinya. Kyra. Hubungan Duncan dan putrinya selama ini selalu baik, ia selalu merasa perlu menjadi ayah sekaligus ibu baginya, untuk menggantikan ibunya yang telah tiada. Ia tahu bahwa ia telah gagal menjadi seorang ayah—pun ia gagal menjadi seorang ibu bagi putrinya.

Duncan ingin memastikan bahwa ia selalu mengawasi putrinya itu, satu-satunya anak perempuan di antara saudara-saudaranya, dan satu-satunya perempuan di dalam benteng yang penuh dengan para prajurit—apalagi mengingat bahwa putrinya ini tidak seperti gadis kebanyakan; harus diakui, putrinya ini adalah seorang gadis yang sifatnya sangat mirip dengan dirinya. Putrinya sendirian di tengah-tengah kaum pria, dan ia selalu berusaha melakukan apa pun demi putrinya, bukan hanya karena memang itu sudah adalah kewajibannya, namun juga karena ia sangat mengasihi putrinya melebihi segala sesuatu; meskipun ia tak suka mengakuinya, namun ia mencintai putrinya itu melebihi cintanya pada anak laki-lakinya yang lain. Karena anak-anaknya itu pulalah, ia harus mengakui bahwa meski Kyra adalah seorang gadis, namun justru sifatnya banyak diwarisi oleh putri satu-satunya ini. Hasratnya yang kuat, tekadnya yang teguh, semangat ksatrianya, pantang menyerahnya, sifatnya yang tak kenal takut, dan belas kasihnya. Kyra selalu membela orang yang lemah, terlebih jika orang itu adalah adiknya, dan Kyra selalu membela keadilan—apa pun risikonya.

Salah satu alasan yang membuat percakapan mereka berdua itu terasa sangat mengesalkan, kini membuatnya merasa tak enak hati. Saat ia melihat Kyra di arena latihan sore tadi, mengayunkan tongkatnya melawan para prajurit itu dengan kemampuan yang hebat dan memukau, hatinya berbunga-bunga karena bangga dan gembira. Ia tak suka pada Maltren, seorang pembual dan seseorang yang menjengkelkan, dan ia senang melihat putrinya itu berhasil mempermalukan Maltren di depan banyak orang. Ia jauh lebih bangga lagi karena putrinya ini, seorang gadis yang baru berusia lima belas tahun, dapat mempertahankan diri melawan anak buahnya—dan bahkan mampu mengalahkan mereka semua. Ia sangat ingin memeluknya, menghujaninya dengan pujian di depan banyak orang.

Namun sebagai seorang ayah, ia tak dapat melakukannya. Duncan menginginkan yang terbaik bagi putrinya, dan jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa putrinya ini tengah menyusuri jalan hidup yang berbahaya, jalan yang keras di dunia milik laki-laki. Ia akan menjadi satu-satunya perempuan di medan pertempuran yang penuh dengan para pria berbahaya, para pria dengan nafsu ragawi, para pria yang akan bertarung hingga mati jika kemurkaan telah menguasai mereka. Kyra tidak mengerti apa arti sebuah pertempuran yang sejati, ia tak mengerti seperti apa rupanya darah yang tertumpah, rasa sakit, dan kematian. Itu bukanlah jalan hidup yang ia inginkan bagi putrinya—meskipun bila ia membiarkan Kyra menjalaninya. Ia ingin agar putrinya tetap selamat dan aman di dalam benteng, menjalani hidup di rumah dengan damai dan tenang. Namun ia pun tak tahu bagaimana caranya agar Kyra menginginkan kehidupan semacam itu dari dalam hatinya sendiri.

Semua itu membuatnya merasa bingung. Dengan menolak memujinya, dapat ia bayangkan betapa ia telah memupus semangat putrinya. Dan jauh di lubuk hatinya, ia merasa remuk redam—dan menolak memberikan pujian hanya akan semakin membuat ia jauh dari putrinya. Ia benci dengan apa yang ia lakukan malam ini, dan ia benci dengan apa yang ia rasakan sekarang. Namun ia tak tahu harus berbuat apa lagi.

Yang membuatnya jauh lebih kesal adalah desas-desus yang beredar diam-diam di belakangnya: ramalan tentang takdirnya pada hari kelahirannya. Ia selalu menganggap ramalan itu omong kosong belaka, sebuah bualan mistik; namun hari ini, setelah melihat putrinya, setelah menyaksikan kemampuannya, dan tersadar akan betapa istimewa putrinya itu, ia bertanya-tanya apakah ramalan itu benar adanya. Dan pikiran itu membuatnya merasa ngeri jauh melebihi segala sesuatu. Takdir menghampirinya dengan cepat, dan ia tak bisa menghentikannya. Berapa lama lagi kebenaran tentang putrinya ini akhirnya akan terungkap?

Duncan memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya, ia menengguk banyak-banyak dari kantong anggurnya dan berusaha menyingkirkan kekhawatiran itu dari dalam pikirannya. Lagipula, malam ini adalah malam perayaan. Titik balik matahari musim dingin -atau Hari Terpendek dalam satu tahun- telah tiba, dan ketika ia membuka mata, ia melihat salju turun di luar jendela, dan kini badai salju telah datang, menumpuk tinggi di bebatuan, seolah menjadi pertanda dimulainya perayaan. Meskipun angin bertiup kencang di luar, mereka tetap nyaman di dalam benteng, dihangatkan oleh bara api di perapian, oleh suhu tubuh, oleh makanan yang dipanggang dan oleh anggur.

Dan memang, saat ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru balairung, semua orang terlihat bahagia—para pemain sulap, para penyair, dan para pemain musik bergantian menghibur para tamu hingga mereka tertawa dan gembira sembari berbagi kisah tentang pertempuran. Duncan memandang hadiah mengagumkan di depannya dengan senang, meja perjamuan yang dipenuhi oleh berbagai macam makanan dan hidangan. Ia merasa bangga saat melihat seluruh perisai yang tergantung di dinding, masing-masing ditempa dengan hiasan yang berbeda, tiap-tiap lambang menunjukkan kesatuan pasukan yang berbeda serta prajurit yang berbeda yang telah berperang bersama dirinya. Ia juga melihat seluruh piala kemenangan yang juga tergantung di dinding itu, kenangan akan kejayaan perang sepanjang sejarah Escalon. Ia tahu bahwa dirinya adalah pria yang beruntung.

Ograniczenie wiekowe:
16+
Data wydania na Litres:
10 października 2019
Objętość:
334 str. 7 ilustracje
ISBN:
9781632914804
Format pobierania:
epub, fb2, fb3, ios.epub, mobi, pdf, txt, zip
Pierwsza książka w serii "Raja dan Penyihir"
Wszystkie książki z serii