Yang Terlarang

Tekst
0
Recenzje
Przeczytaj fragment
Oznacz jako przeczytane
Czcionka:Mniejsze АаWiększe Aa

1 3 PEE POB HENG

Ketika mereka bangun di pagi hari, setelah akhirnya tertidur karena kelelahan, Heng tertutup selimut sepenuhnya dengan bantal di atas kepalanya. Semua orang bangkit dari tempat tidurnya lalu turun secepat mungkin, melewati tempat tidur Heng dengan cepat.

“Wow, Mum, apa ibu melihat Ayah tadi malam?” tanya Den. “…Mata dan kulitnya menerangi ruangan, tapi itu matanya, bukan? Matanya dulu berwarna hitam dan putih seperti milik kita, tapi sekarang menjadi merah dan merah muda … Itu pasti karena semua darah itu, kurasa.”

“Aku tidak tahu, Sayangku, tapi kurasa kau benar. Lebih baik sekarang kau mengambil lebih banyak darah dan ajak adikmu untuk mendapatkan lebih banyak susu. Apakah kau ingat bagaimana bibimu mendapatkan darah itu?”

“Ya, Mum, aku akan mengambilnya dari kambing billy lain, bolehkah aku membiarkan yang terakhir sembuh?”

“Ya, ide bagus, Den. Gunakan kambing jantan yang berbeda setiap hari untuk darah dan Din bisa melakukan rutinitas pemerahan normalnya. Untuk saat ini, semua susu kambing itu untuk ayahmu, oke? Dia sangat membutuhkannya daripada kita dan kita tidak ingin dia lapar di tengah malam, bukan?”

“Tidak, Bu, jelas tidak! Aku butuh waktu lama untuk bisa tidur semalam. Aku sangat takut bila Ayah pergi dan mulai berjalan-jalan, barangkali mencari sesuatu untuk dimakan - atau seseorang.”

“Jangan mencemaskan hal-hal seperti itu untuk saat ini, Den. Aku lebih dekat dengannya daripada kau, jadi dia akan mencariku lebih dulu, tetapi jika kau melihat kulit pucat dan tidak berdarah lagi dari kita, keluarlah. Sama halnya jika kau melihat empat mata merah menatapmu dari balik kelambu kami suatu pagi.”

“Tentu, Bu! Aku akan pergi dan mengambil darah itu segera. Dimana Din?”

“Ibu tidak tahu, mungkin dia sudah mulai memerah susu. Lanjutkan pekerjaanmu dan aku akan menemui Bibi Da dengan menaiki sepeda motor - kurasa kita masih membutuhkan bantuan untuk ayahmu. Kau dan adikmu tunggu ibu kembali sebelum menemui Ayahmu, yaa?”

“Ya, Bu. Tidak perlu memberitahuku dua kali. Tapi apa yang harus kita lakukan jika ayah turun ke sini?”

“Kurasa dia tidak akan… Dia tertidur lelap ketika aku bangun dari tempat tidur, toh kita tidak akan lama. Jika Ayahmu benar-benar bangun, jangan biarkan Ayahmu mengucapkan selamat pagi sambil menciummu.”

Wan kembali sepuluh menit kemudian dengan Bibi Da, yang sudah duduk di balai-balainya sendiri menunggu kunjungan tak terelakkan dari seseorang di rumah Heng. Ketika mereka kembali, Heng belum turun, Din sudah mengambil susu dan Den hampir siap.

“Oke,” kata Bibi Da, “…untuk saat ini aku merekomendasikan 50:50 susu kambing dan darah dengan satu sendok teh kemangi, setengah ketumbar dan sedikit taburan ini. Aduk lalu selesai. Beri dia setengah liter di pagi hari dan setengah liter sebelum tidur. Itu sudah cukup untuk saat ini. Oh, dan jangan pernah memberinya bawang putih, itu sangat buruk bagi vampir! Ayo pergi dan temui dia sekarang.”

“Sebelum kita naik, Bibi Da, aku harus memberitahumu bahwa dia menghabiskan sebagian besar waktu kemarin malam dengan duduk tegak di tempat tidur yang berkilauan seperti suar dengan kulit pucat, dan mata merah muda dengan pupil merah. Oh, dan saat Heng berbicara dengan kami! Oh, Budha! Aku belum pernah mendengar suaranya seperti itu. Dia mengucapkan ‘Selamat malam, semuanya’ dengan suara yang dalam dan aneh… itu benar-benar menakutkan.”

“Tidak apa-apa … sekarang ayo pergi dan lihat dia.”

Mereka naik ke atas dengan sebotol susu kocok lalu memasuki ruang tidur. Semua jendela ditutup sehingga bagian dalamnya gelap gulita. Wan melangkah keluar lagi, mengambil lilin dari tempatnya, menyalakannya dengan korek api yang tergantung di tali di dekatnya, dan masuk kembali ke ruang tidur untuk bergabung dengan Bibi Da, yang telah memberanikan diri mendekati kasur tempat Heng tidur.

Cahaya lilin tidak memperlihatkan hal baru sehingga para wanita mengikat kelambu dan duduk di kedua sisi kasur. Wan membuka selimut Heng. Di tempat tidurnya, Heng berbaring, telentang, telanjang, lengan terentang lebar seperti Yesus di kayu salib. Matanya terbuka, dua lingkaran merah muda dan bentuk seperti kacang almond merah di tengah, ada di wajahnya yang tanpa ekspresi seperti hantu. Dan di bibirnya, ada dua garis kecil di sekitar mulutnya.

Wan memandang dengan penuh tanda tanya pada Bibi Da, yang sedang mempelajari pasiennya. Dia meletakkan punggung tangannya di dahi Heng dan tidak terkejut karena suhunya normal.

“Bagaimana kabarmu hari ini, Heng?” tanya istrinya.

“Lapar… tidak haus,” katanya. Ucapan itu keluar dari mulutnya bak batu-batu besar yang bergemuruh menuruni gunung dalam longsoran batu.

“Baiklah, Sayangku, duduklah. Kami punya susu kocok yang lebih enak untukmu.”

Para wanita mengatur ulang bantal untuknya, membantunya duduk tegak, kemudian menutupinya dengan selimut.

“Minumlah, Sayangku.” kata Wan, “…Itu rasa yang paling kau sukai kemarin.”

Bibi Da menuangkan sedikit ke dalam gelas dan memasukkan sedotan untuknya. Heng meminum dua gelas cairan merah muda dengan buih tumbuhan hijau dan tampak bersemangat. Dia menegakkan tubuhnya dan melihat sekeliling seolah-olah untuk pertama kalinya.

“Kau suka itu, Heng?” tanya Bibi Da. “…Aku tahu kau jauh lebih bersemangat sekarang daripada saat kami masuk. Apa menurutmu, kau bisa turun hari ini? Sinar matahari mungkin akan berguna… Kau terlihat sedikit pucat… Kau tidak terbiasa tinggal di dalam, bukan?”

Heng memandang Bibi Da seolah-olah Bibi Da sedang berbicara dalam bahasa asing, kemudian menatap istrinya.

“Apa kau ingin pergi ke toilet, Heng? Sudah lama lho. Apa tubuh bagian bawahmu baik-baik saja? Apa kau ingin pergi ke toilet sekarang atau haruskah aku membawakan ember untukmu?”

“Ya, ide bagus, aku ingin pergi ke toilet di lantai bawah, tapi pertama-tama susu kocok lagi.”

Karena tidak ada wanita yang tahu berapa banyak yang harus Heng konsumsi, mereka membiarkannya minum sebanyak yang dia inginkan dan Heng menghabiskan seluruhnya.

Bibi Da duduk kembali dan mengamati, sementara Wan membantu Heng berpakaian. Saat susu kocok mulai bereaksi, Heng menjadi lebih aktif.

“Ayo, Sayang, mari kita berpakaian dan turun ke bawah.”

Para wanita masing-masing meraih lengan dan membantu pria yang gemetar itu berdiri. Dia seperti sepeda dengan roda yang goyah. Ketika mereka membawanya menuju tangga, dia tersentak sedikit pada cahaya terang, tapi begitu juga dengan yang lain yang telah menghabiskan satu setengah hari di ruangan yang gelap. Den dan Din memperhatikan ayah mereka menuruni tangga seperti seorang dipsomaniak dibantu oleh bibi dan istrinya.

Mereka ngeri karena Ayahnya terlihat sangat lemah dan sangat berbeda. Heng dari dulu kurus, tapi sekarang lebih kurus lagi, seputih salju, dan dengan dua buah almond merah sebagai matanya. Mereka berdua berpindah tempat saat Heng berjongkok di atas meja untuk istirahat.

“Den, apa kau masih menyimpan kacamata hitam tua itu? Kurasa ayahmu membutuhkannya hari ini, karena matanya agak sensitif.

Apa kau bisa membawa Heng ke toilet sendirian, Wan, atau kau ingin Den membantumu?”

“Tidak, kurasa aku sendiri bisa membantunya.”

Wan membopong Heng ke toilet. Heng menggunakan tangannya yang bebas untuk melindungi matanya. Ketika mereka kembali berkumpul di meja lima belas menit kemudian, Heng tampak kelelahan.

“Din, naiklah ke atas dan ambilkan seprai dan beberapa bantal, oke? Biarkan ayahmu beristirahat di sini hari ini untuk menghirup udara segar dan sinar matahari. Dia tidak pernah menghabiskan begitu banyak waktu di dalam ruangan dalam hidupnya, jadi tubuhnya tidak terbiasa dengannya. Lihatlah keadaannya…”

Sementara itu, Heng melihat dari satu orang yang berbicara ke orang berikutnya yang berbicara, tetapi sepertinya dirinya tidak memahami percakapan tersebut. Mereka membuat Heng nyaman dengan tempat tidur darurat itu. Denlah yang memproduksi kacamata hitam dengan lensa cermin hitam legam yang sangat dia banggakan satu dekade lalu itu, di saat kaca mata hitam seperti itu sedang tren.

Hasilnya adalah Heng tampak seperti burung aneh yang disandarkan ke penyangga atap, memakai kacamata, dan terbungkus seprai putih.

“Baiklah, anak-anak, kupikir sebaiknya kalian pergi dan menyiapkan susu kocok lagi untuk ayahmu. Dia sepertinya sangat lapar hari ini dan itu pertanda baik. Itu menunjukkan bahwa kita melakukan sesuatu yang benar!”

“Paw merasa jauh lebih baik hari ini, bukan?”

Mereka semua menunggu reaksi Heng. Kemudian Heng mengangguk, terlihat sangat seperti burung hantu. Den dan Din pergi sambil terkikik, merasa sangat sulit untuk menyamakan makhluk di atas meja dengan ayah mereka dua puluh empat jam yang lalu.

“Apa menurutmu aku harus memasak sesuatu untuk Heng malam ini, Bibi Da?”

“Itu tidak akan membuatnya sakit jika dia memakannya, tapi itu tidak bisa menggantikan susu kocok.”

“Heng, kau mau makan bersama kami nanti?”

Heng memiringkan kepalanya ke samping kanan lalu ke samping kiri sambil menatap istrinya.

“Apa yang kau masak malam ini, Wan?” tanya Bibi Da.

“Ayam atau babi… apapun yang dia suka.”

Heng terus memandang dari satu pembicara ke pembicara lainnya seperti seseorang di negara di mana dia tidak bisa berbicara bahasanya.

“Mengapa tidak bertanya padanya? Dia tidak menjadi bodoh, atau setidaknya menurutku, dia tidak bodoh.”

“Apa yang ingin kau makan malam ini, Heng, babi atau ayam?”

Dia menatapnya selama beberapa detik dan kemudian berkata:

“Anak…”

“Hah? Anak apa? Omong-omong, Heng, kau tidak bisa memakan anak-anak … itu tidak benar.”

 

“Bukan anak-anak kita… Anak kambing… Kita punya atau tidak?” tanya Heng

“Ya, kita masih punya beberapa, tetapi kupikir kita akan membesarkannya untuk ditambahkan ke kawanan.”

“Hanya satu anak.”

“Ya, baiklah, Heng, karena kau sakit, aku akan memasakkan potongan daging anak kambing untukmu malam ini dan kita semua akan makan daging babi.”

“Aku ingin makananku setengah matang, dipanggang, bukan dimasak kari, Wan. Aku mendambakan daging, daging merah asli.”

Anak-anak sangat lega karena Ayah mereka belum berniat memakan tubuh mereka juga.

Di saat Heng sepertinya telah tertidur sembari menunggu makan malam, Den bertanya pada ibunya apakah menurutnya Ayahnya berniat memakannya suatu hari nanti.

“Oh, kurasa tidak, Den, jika kita memuaskan selera makannya, meski kita belum tahu apa itu.”

“Bibi Da, bagaimana menurutmu tentang kondisi Heng?”

“Menurutku, ini sangat menarik… memang sangat menarik. Kau akan melihat bahwa kemarin, Heng mengetuk Pintu Kematian, tetapi sekarang dia menjadi lebih aktif dari waktu ke waktu, meski dia tampak bukan seperti Heng yang sama yang kita semua kenal dan cintai dengan sangat baik.

Kita harus melihat seperti apa Heng yang baru ini atau mungkin Heng yang lama bisa kembali pada kita begitu dia terbiasa dengan pola makanan barunya dan pulih seiring berjalannya waktu tanpa darah sungguhan dalam dirinya.

Tebakanmu mungkin tidak sebaik milikku, tapi kuakui aku berada di wilayah baru di sini dan sedang memainkan peranku dengan beberapa saran dari Teman Rohku. Meski ada yang menyarankan lebih baik membunuhnya saja dan biarkan dia memulai hidup lagi.”

“Apa pendapatmu tentang saran itu, Wan?”

“Mmmm, sejujurnya, menurutku itu tindakan yang cukup drastis, bukan, Bibi Da?

“Ya, aku setuju, aku setuju denganmu soal ini, itulah sebabnya aku tidak menyarankannya. Namun, itu masih bisa menjadi pilihan, jika ada hal yang tidak terkendali.”

Sepanjang percakapan ini, Heng tampak tertidur, tetapi para wanita tidak memeriksanya.

“Bibi Da, apa menurutmu dia menderita?”

“Dia tampak cukup damai, bukan? Dia berbicara lagi sekarang dan tidak mengeluhkan sesuatu, jadi aku tidak terlalu khawatir tentang kondisi fisiknya jika aku jadi kau. Namun, kau mengenalnya lebih baik dari orang lain, jadi terserah padamu. Perhatikan kalau ada tanda-tanda apa pun, termasuk perubahan mental, lalu laporkan padaku agar kita bisa mendiskusikannya.”

“Baiklah, Bibi Da, aku akan melakukannya. Lihatlah, jika menurut Bibi Da ada hal lain yang harus dilakukan, jangan sungkan. Anak-anak luar biasa - mereka telah mengambil alih semua tugas kami, sehingga aku bisa duduk menemani Heng. Jika Bibi Da ingin tumpangan pulang, aku bisa mengantar Bibi. Kami semua sangat berterima kasih atas bantuan Bibi. Heng mungkin sudah mati bila tidak ada Bibi, dan kami semua sangat paham soal itu. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk Bibi, katakan saja.”

“Ya, terima kasih, Wan. Mungkin aku akan pulang beberapa jam lagi, aku ingin melihat Heng menyantap anak kambing. Jadi, andai aku bisa makan malam daging babi bersama kalian malam ini, itu akan sempurna.”

“Untuk bayarannya, jangan khawatir soal itu saat ini. Heng adalah keponakan favoritku dan aku tidak ingin ada hal buruk yang terjadi pada keponakanku selagi aku bisa mencegahnya. Aku bisa berjalan pulang dan kembali ke sini dengan jalan kaki saja… Jam berapa kalian makan malam?”

“Sekitar jam tujuh sampai tujuh tiga puluh, seperti biasa. Kami senang Bibi Da bisa makan malam bersama kami.”

“Oke, aku pergi sekarang, sampai jumpa pukul tujuh. Selamat tinggal.”

“Sampai jumpa, Bibi Da, dan terima kasih sekali lagi atas semua bantuanmu.”

Saat Bibi Da sudah pergi, Wan merasa aneh bisa berduaan dengan suaminya. Ini adalah pertama kalinya sejak Heng menjadi ‘sakit’. Den yang menggembala kambing-kambing ke sungai dan Din yang merawat kebun sayur keluarga. Wan perlu menyuruh Den menyembelih salah satu anak kambing yang lari bersama induknya dalam kawanan, tetapi dia tidak berani meninggalkan Heng sendirian. Din, satu-satunya yang dia harapkan bisa pergi. Jadi, dia sangat berharap Din akan kembali untuk makan siang, tapi memang biasanya dia kembali. Jadi, Wan cukup yakin Heng akan mendapatkan keinginannya.

Wan mencoba berbicara pada Heng. Karena tidak ada orang di sekitar yang bisa mendengar mereka, Wan berbicara dengan nada mesra.

“Cintaku, Heng, apa kau sudah bangun, Sayang? Kita semua… Aku sangat mengkhawatirkanmu… tolong jawab jika kau bisa mendengarku.”

“Tentu aku bisa mendengarmu saat aku bangun, tapi aku sering tertidur, Mud.” katanya dengan suaranya yang baru, rendah, dan bergemuruh. “…Kurasa aku melewatkan beberapa hal. Secara umum, aku merasa jauh lebih baik, meski terasa sedikit aneh. Aku sangat menantikan makan malam. Pukul berapa sekarang?”

“Sebelas empat puluh lima, kita akan makan siang sebentar lagi, apa kau mau makan siang juga?”

“Makan apa?”

“Salad…”

“Cih, makanan kelinci!”

“Ta, tapi dulu kau sangat suka salad sayuran, Heng …”

“Benarkah? Aku tidak bisa membayangkannya dan aku tidak ingat aku menyukainya.”

“Bagaimana dengan telur dadar?”

“Ya, kedengarannya lebih baik. Apa kau bisa mencampurkannya dalam susu kocok?”

“Ya, tentu, Sayang, kenapa tidak. Aku punya sedikit, yang kusiapkan untuk makan malammu nanti.”

“Tunggu Din tiga puluh menit lagi, kita lihat apa dia akan kembali. Aku ingin dia memberi tahu Den untuk menyembelih salah satu anak kambing untukmu.”

Usai makan siang, Din membawakan beberapa pisau, kantong untuk daging, dan termos untuk darah pada kakaknya, agar bisa menjalankan tugas menyeramkan itu, lalu Din kembali ke kebun sayur.

“Kau sepertinya suka telur dadar itu, Heng, ya kan?”

“Ya, ini sangat megenyangkan, banyak daging, banyak protein.”

Wan berada di dekat Heng sepanjang sore, memotong sayuran, dan membuat saus cabai naam pik, tetapi Heng tidak berkata apa-apa. Dia rupanya sedang tidur siang atau mungkin tidur siang untuk pemulihan setelah makan padat pertamanya selama beberapa hari.

Din adalah yang pertama kembali di sore hari dengan sekeranjang penuh sayuran dan rempah-rempah untuk dua puluh empat jam berikutnya. Den datang beberapa saat kemudian dan menyerahkan sekantong daging yang disembelih dengan rapi dan satu botol darah dari bangkai kambing kepada ibunya.

“Aku akan pergi dan menggarami kulit ini, Mum, oke? Aku sudah mengulitinya seperti yang Ayah ajarkan padaku. Aku akan kembali dalam dua puluh menit.”

“Tidak perlu terburu-buru, kita punya banyak waktu. Pastikan kau mandi setelah menyembelih kambing sebelum naik ke balai-balai.”

“Ya, Bu…”

“Mmm, susu kocok, aku mencium aroma susu kocok yang enak …” gumam Heng bangun dari tidurnya.

“Ya, Heng, susu kocok… Aku membuatkanmu susu kocok untuk nanti, tapi pertama-tama kita akan makan malam saat bibimu tiba di sini.

Wan berbisik pada Din,

“Aku yakin Ayahmu bisa mencium bau darah kambing atau dagingnya. Lihat hidungnya bergerak-gerak seperti penyihir. Siapa yang akan percaya seminggu yang lalu kita akan hidup seperti ini?”

Wan memasukkan daging yang berlebih ke dalam lemari es lalu menjauhkan potongan daging untuk Heng agar bau darahnya tidak mengusik Heng, sehingga Wan bisa melanjutkan tugasnya. Heng kembali tidur seperti mainan jarum jam yang telah rusak.

Pada pukul enam empat puluh lima, Wan meniriskan potongan sayuran agar kering, membuat api terbuka di bawah periuk yang mereka gunakan untuk memasak di dalam tungku beton tua di atas balai-balai, lalu menambahkan beberapa bongkah arang lagi. Malam ini, mereka akan mengadakan makan malam favorit anak-anak - babi panggang.

Alat untuk memanggang itu sederhana tapi efektif, yaitu ‘piring’ logam yang menyerupai alat untuk membuat jus jeruk jaman dulu. Pancinya diisi air untuk merebus sayuran dan mie bihun, sedangkan di bagian atasnya dapat digunakan untuk memanggang daging. Oleh karena itu, semua orang memasak makanan mereka sendiri dan memanggang sendiri, sehingga tetap menjadi makanan yang umum.

Ketika Bibi Da tiba, tidak lebih awal, tetapi pada pukul tujuh sepuluh, Wan menyuruh Din untuk mengambil daging di lemari es di dalam rumah. Ketika daging itu berada dalam jarak sepuluh yard dari balai-balai, Heng menjadi ‘hidup’ lagi, hidungnya bergerak-gerak.

“Mmm, susu kocok!”

“Bukan, Heng, susu kocoknya nanti, sekarang kau makan potongan daging anak kambing.”

“Mmm, potongan anak, bagus, setengah matang…”

Bibi Da terpesona dan mengingat itu dalam benaknya.

Saat Wan meletakkan daging di panggangan barbekyu, Heng melepas kacamatanya agar bisa melihat dengan lebih baik dalam cahaya yang meredup dengan cepat. Matanya bersinar seperti suar merah menyala membuat anak-anak bergidik ketakutan dan tidak mengerti dengan situasi yang terjadi.

Semua orang di sana akan mengatakan bahwa sayuran yang direbus dan daging yang dimasak berbau harum, tetapi Heng yang berbicara lebih dulu.

“Anak ini baunya harum sekarang! Jangan membakar darahnya. Heng ingin dagingnya setengah matang … tanpa sayuran, baunya tidak enak.”

“Ya, Heng, aku tahu, setengah matang, tapi jangan mentah. Ini masih mentah, kita harus memanggangnya beberapa menit lagi.”

“Tidak, Mud, akan kumakan seperti ini. Baunya sangat harum sekarang, dan setiap menit baunya semakin berkurang. Aku ingin punyaku sekarang.”

“Baiklah, Heng, lakukan dengan caramu sendiri. Apa kau ingin daging dengan sayuran atau bihun?”

“Tidak, daging saja, aku ingin kelincinya, bukan makanan kelinci.”

Wan mengambil dua potongan daging dari api, meletakkan satu di piring untuk Heng, lalu menyerahkannya pada Heng.

“Ini, Paw. Tapi itu masih terlihat sangat berdarah bagiku. Dulu kau selalu makan daging matang seperti kami.”

“Heng mengambil piring itu, mendekatkan ke hidungnya, lalu mengendusnya, hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kelinci. Kemudian dia meletakkan piring di pangkuannya, mengambil potongan kecil di kedua tangannya, lalu mengangkatnya mendekati hidungnya lagi.

“Bagus,” katanya, “…sedikit kematangan, tapi sangat enak.”

Heng tidak menyadari bahwa semua orang memperhatikan setiap gerakannya saat menggigit sepotong kecil daging dan mengunyahnya dengan gigi depannya. Wan setidaknya mengharapkan Heng untuk mengambil seluruh potongan daging sekaligus. Kemudian Heng memegang potongan daging di satu tangannya lalu merobeknya dengan tangan lainnya. Ketika bagian dalam potongan daging yang masih berdarah itu terekspos sedikit, dia meletakkan bagian itu di bibirnya dan mengisapnya.

Keluarganya saling pandang dengan takjub, saat mata merah dan merah mudanya sedang mengamati daging bak elang.

“Apa ada masalah?” tanya Heng dengan memiringkan kepalanya cepat ke arah istrinya.

“Tidak, Heng, tidak masalah. Aku senang sekali melihatmu makan makanan padat lagi, itu saja. Kami hanya senang melihatmu, bukan begitu, semuanya?”

“Iya.” mereka menyetujuinya bersamaan, tetapi Bibi Da merasa was-was, walau dia tidak siap untuk menceritakannya pada saat yang tepat.

“Baik! Tidak apa-apa kalau begitu.” kata Heng lalu kembali menggigit makanannya dengan hati gembira.

Butuh waktu tiga puluh menit penuh untuk Heng menghabiskan daging seukuran telapak tangan manusia, kemudian mulai dari tulangnya, yang dia bersihkan dari daging-daging yang menempel, kemudian disedotnya sumsumnya sampai kering. Yang lain pun merasa hampir tidak mungkin untuk berkonsentrasi pada makanannya sendiri. Akibatnya, sayuran direbus hingga airnya mengering dan daging dipanggang hingga banyak yang gosong, sehingga sebagian besar makanan mereka rusak. Meski begitu, mereka tetap memakannya, karena tidak mau menyia-nyiakan makanan.

Ketika Heng selesai dengan potongan pertama, Heng menyeka mulut dengan punggung tangannya, menjilatinya, kemudian menyedotinya sampai bersih. Orang yang melihatnya mungkin menduga bahwa Heng baru saja dibebaskan setelah bertahun-tahun di sel isolasi di kamp asing dengan jatah hanya roti dan air. Tak satu pun dari mereka pernah melihat orang yang begitu menikmati makanannya.

“Mau yang satunya lagi sekarang, Paw?” tanya Din.

Heng memegang selimut yang ada di sekitar pundaknya lalu mengebaskannya untuk membuat dirinya lebih nyaman dan Den menyelamatkan piring yang hampir jatuh dari pangkuannya.

 

“Kita tunggu yang ini turun dulu.” kata Heng, “…baru kemudian makan lagi. Makanannya sangat enak. Heng sangat suka.”

Den menatap ibunya dan ibunya tahu apa yang dia maksud. Heng berbicara dengan gaya manja dan tidak ada yang pernah mendengarnya seburuk itu sebelumnya, meskipun bahasa Thailandnya memang tidak pernah sempurna karena dia keturunan Tionghoa.

Saat orang-orang mulai menyesuaikan diri dengan makanan mereka sendiri dan Heng menjadi terdiam lagi, muncullah suara tekanan yang teredam dari arah Heng. Semua orang tahu apa yang terjadi, tetapi mereka bersikap sopan dan berpura-pura tidak mendengarnya. Kemudian, satu lagi terhembus bau menyengat.

Hanya Wan dan Bibi Da yang berani menatap Heng yang tersenyum lebar di balik kacamata-gelapnya.

Den mulai gelisah. Awalnya secara diam-diam, tetapi dia tidak bisa menahannya, kemudian Din segera terinfeksi dan ikut tertawa.

“Shhhsssttt, anak-anak! Ayahmu tidak bisa menahannya. Dia sakit.” kata Wan. “…Makanan padat pasti langsung masuk ke tubuhnya.”

Namun, Den dan Din tidak bisa mengendalikan diri. Heng hanya duduk di sana dengan senyum puas di wajahnya. Beberapa menit kemudian, ketika baunya belum juga hilang,

“Bawa ayahmu ke toilet, ya, Den, supaya ayahmu bisa membersihkan diri. Jika butuh bantuan, teriak saja, ibu akan datang membantu.

Heng, taruh celana dalammu di keranjang cucian, aku akan mencucinya besok.”

Ketika mereka beranjak, Wan berkata,

“Ya ampun! Ya ampun, bagaimana itu, Bibi Da?”

“Aneh, bukan? Tetapi perilaku Heng mengingatkanku pada perilaku burung. Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi cara dia berjongkok di sana bak burung yang sedang bertengger. Cara dia makan dan kemudian buang air setelah makan … Burung juga seperti itu - kukira banyak hewan yang juga melakukannya. Perhatikanlah ayam di halaman rumahmu. Aku tidak bisa melupakan penampakan dia yang sedang bertengger di sana dengan selimut dan kacamatanya setelah makan daging.”

Jadi menurut bibi, Heng tidak mengompol? Aku jadi sedikit mencemaskan tempat tidur kami… kami baru membeli kasur baru beberapa minggu yang lalu… sayang sekali, bukan? Apa menurut bibi tidak apa-apa untuk menempatkannya di gudang sampai kita yakin?”

“Tidak, jangan khawatir! Bahkan burung pun tidak mengotori sarangnya sendiri. Kau mungkin ingin memakaikannya popok sampai kita lebih paham apa yang sedang terjadi… Atau celana inkontinensia jika ini terus berlanjut, tetapi kau harus pergi ke kota untuk mendapatkannya.”

Ketika Heng kembali dengan Den, dia tampak sedikit kecewa, bahkan sedikit malu.

“Kau baik-baik saja, Heng?” tanya istrinya.

“Ya, kecelakaan. Jangan khawatir. Tidak masalah. Tidak akan terjadi lagi hari ini. Pergilah tidur sekarang.”

“Ya, ide yang bagus. Bibi Da, bagaimana dengan susu kocoknya?”

“Aku sungguh berpikir, dia harus meminum banyak susu kocok sebelum tidur. Jangan khawatir soal kasur barumu. Dia tidak mengotorinya kemarin, jadi kurasa dia juga tidak akan mengotorinya malam ini. Namun, aku tak mau dia bangun tengah malam mencari-cari sesuatu untuk dimakan, jika aku tinggal serumah dengannya.”

“Tidak, Bibi mungkin benar. Den, dudukkan ayahmu di tepi balai-balai. Din, tolong ambilkan segelas susu kocok itu, yaa?”

Ketika Heng telah meminumnya dan tidak ada suara atau bau yang mencurigakan, Wan menyuruh anak-anak untuk membawa ayah mereka ke tempat tidur.

“Aku akan segera menyusul untuk melihat dia baik-baik saja, tapi menurut ibu, ayahmu ingin tidur sekarang.

Waduhh, waduhh Bibi Da, apa yang harus kulakukan? Sekarang kami punya manusia burung di rumah! Bagaimana ini Bibi Da?”

“Aku belum yakin, Wan, tapi leluconmu mungkin lebih benar dari yang kau tahu. Kita tunggu dan lihat saja. Mari kita lihat dulu apa dia ingin bermigrasi ke selatan di musim dingin.

Wan tidak yakin apakah Bibi Da sedang bercanda, jadi dia tersenyum hanya setengah dengan harapan tidak bisa dimengerti oleh Bibi Da. Sayangnya, Bibi Da adalah seorang shaman.

Wan merasa cemas. Tidak ada yang mau berada dalam situasi ini, bukan?

To koniec darmowego fragmentu. Czy chcesz czytać dalej?