Za darmo

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Z serii: Raja dan Penyihir #1
0
Recenzje
Oznacz jako przeczytane
Czcionka:Mniejsze АаWiększe Aa

Dan seberapa pun sering ia berpura-pura menyangkalnya, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Kerajaan ini adalah sebuah kerajaan terjajah. Raja mereka yang sebelumnya, Raja Tarnis, telah menyerah dengan memalukan, meletakkan senjata tanpa perlawanan, dan membiarkan Pandesia menguasai mereka. Penyerahan diri itu telah memakan korban jiwa dan membuat mereka kehilangan banyak kota—sekaligus merenggut semangat mereka. Tarnis selalu bersikukuh bahwa Escalon takkan sanggup bertahan, bahwa meskipun mereka mampu mempertahankan Gerbang Selatan, Jembatan Kesedihan, toh Pandesia akan mengepung dan menyerang mereka dari laut. Namun mereka semua tahu bahwa itu adalah sebuah alasan yang konyol. Escalon memiliki pesisir yang dipenuhi tebing curam setinggi ratusan kaki, dengan ombak ganas dan batu karang tajam di dasarnya. Tak ada satu pun kapal yang dapat merapat di sana, dan takkan ada pasukan mana pun yang dapat menerobosnya tanpa mengorbankan banyak pasukan. Pandesia bisa menyerang dari laut, namun risikonya akan terlalu besar, bahkan bagi kerajaan sebesar itu. Daratan adalah satu-satunya jalan—dan jalan yang tersisa hanyalah Gerbang Selatan yang sempit, dan semua prajurit Escalon tahu bahwa Gerbang Selatan dapat dipertahankan. Menyerah merupakan sebuah pilihan bagi orang lemah, lain tidak.

Kini, ia dan banyak ksatria lain tak lagi memiliki seorang raja, mereka memiliki rencana masing-masing, memimpin provinsi masing-masing, memiliki benteng masing-masing, dan semuanya dipaksa tunduk dan patuh pada Tuan Gubernur yang ditunjuk oleh Kerajaan Pandesia. Duncan masih teringat saat ia dipaksa untuk mengucapkan sumpah setia yang baru, ia ingat rasanya ketika dipaksa berlutut—dan mengingat semua itu membuatnya muak.

Duncan mengingat-ingat masa lalunya, ketika ia ditugaskan di Andros, ketika seluruh ksatria dari semua kesatuan berkumpul, bergerak demi satu tujuan yang sama, di bawah komando satu raja yang sama, di ibu kota yang sama, dengan panji-panji yang sama, dan dengan kekuatan yang sepuluh kali lipat lebih kuat daripada pasukan yang ia pimpin di sini sekarang. Kini mereka semua tercerai berai di seluruh penjuru Kerajaan, dan para prajurit yang ada bersamanya saat inilah satu-satunya kekuatan yang masih utuh.

Raja Tarnis adalah seorang raja yang lemah, dan Duncan telah mengetahuinya sejak dulu. Sebagai ajudannya, Duncan bertugas menjaganya, meskipun ia tak layak dijaga. Satu sisi dalam diri Duncan tak terkejut mengetahui bahwa Sang Raja telah menyerah—namun ia terkejut betapa cepat kerajaan ini runtuh. Semua ksatria hebat tercerai berai ke seluruh penjuru mata angin, mereka semua kembali ke kesatuannya masing-masing karena tak ada lagi raja yang memimpin mereka dan kekuasaan itu telah diserahkan kepada Pandesia. Hal ini telah mengacaukan ketertiban dan mengubah Kerajaan mereka yang dahulu damai, namun kini menjadi tanah yang penuh oleh kejahatan dan ketidakpuasan. Menyusuri jalanan di luar benteng yang dahulu tenteram, kini terasa tak lagi aman.

Waktu berlalu, dan setiap kali hidangan ludes disantap, makanan selalu ditambahkan dan cawan minuman diisi kembali. Duncan mengambil beberapa potong coklat dan memakannya, menikmatinya seiring beragam hidangan Bulan Musim Dingin dihidangkan di meja perjamuan. Puluhan cangkir berisi coklat terbaik disuguhkan, dilapisi dengan krim dari susu domba di atasnya, dan Duncan yang kepalanya mulai pening akibat banyak minum dan harus berkonsentrasi, mengambil salah satu cangkir itu dan menikmati kehangatannya. Ia meminumnya dalam sekali tenggak, dan kehangatan pun meruak di dalam perutnya. Salju turun di luar dan semakin lama semakin deras, para pelawak menghibur tamunya, para penyair membacakan kisahnya, pemain musik memainkan bait-bait interlude, dan malam terus bergulir, seolah semua lupa akan cuaca yang buruk. Berpesta hingga lewat tengah malam adalah sebuah tradisi pada perayaan Bulan Musim Dingin, untuk menyambut datangnya musim dingin, bagaikan seseorang menyambut karibnya. Konon, dengan tetap melestarikan tradisi ini, maka musim dingin akan cepat berlalu.

Duncan sendiri akhirnya memandang ke sekeliling dan dilihatnya Kyra; ia duduk dengan sedih, kepalanya tertunduk, seakan ia merasa sendirian di tengah keramaian. Ia belum juga mengganti pakaian prajurit yang ia kenakan seperti perintahnya; sesaat, amarahnya kembali muncul, namun kemudian Duncan memilih untuk mengabaikannya. Tampaknya, Kyra pun tengah bersedih; putrinya ini sangat perasa, seperti dirinya.

Duncan merasa bahwa inilah saatnya untuk berdamai dengan Kyra, setidaknya menghibur Kyra jika memang mereka tak dapat saling bersepakat, dan Duncan baru saja hendak bangkit dari duduknya dan menghampiri Kyra—ketika sekonyong-konyong pintu balairung terbuka lebar-lebar.

Seseorang tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan; seseorang berbadan kecil yang mengenakan mantel bulu mewah, pertanda ia datang dari tempat yang jauh; rambut dan jubahnya tertutup salju, dan ia diantarkan oleh para pelayan menuju ke meja perjamuan. Duncan terkejut karena ada seorang tamu yang datang larut malam begini, terlebih lagi di tengah badai salju; dan saat tamu itu menanggalkan jubahnya, Duncan melihat bahwa tamu itu mengenakan baju ungu dan kuning simbol dari Andros. Duncan tahu bahwa orang ini datang dari ibu kota, sejauh tiga hari perjalanan jauhnya.

Para tamu lain memang berdatangan sepanjang malam, namun tak ada yang datang selarut ini, dan tak satu pun tamu datang dari Andros. Melihat warna baju orang itu, Duncan teringat akan sang mantan raja, teringat akan masa-masa jaya yang telah lampau.

Seisi ruangan mendadak hening saat orang itu berdiri di depan tempat duduknya dan membungkukkan badan dengan hormat kepada Duncan, menunggu untuk dipersilakan duduk.

"Maaf, Tuan," katanya. "Saya berniat untuk datang lebih awal. Namun tampaknya salju memperlambat perjalanan. Bukan maksud saya untuk tidak menghormati Tuan."

Duncan mengangguk.

"Aku bukanlah seorang Tuan, melainkan seorang komandan," kata Duncan. "Dan kita semua sama di sini, bangsawan dan rakyat jelata, laki-laki dan perempuan. Semua tamu dipersilakan untuk datang, tak peduli kapan pun mereka tiba."

Orang itu mengangguk dengan sopan dan hendak duduk, namun Duncan mengangkat tangannya.

"Tradisi kami mengajarkan untuk memberikan tempat kehormatan bagi tamu yang datang dari jauh. Mari, duduklah dekat denganku."

Orang itu mengangguk santun dan agak terkejut, lalu pelayan mengantarkan orang itu duduk di dekat Duncan; ia adalah seseorang dengan badan kurus, pendek, dengan pipi dan mata yang cekung, usianya mungkin sekitar empat puluhan, namun ia terlihat jauh lebih tua. Duncan mengamatinya dan melihat kecemasan dalam mata orang itu; ia tampak terlalu cemas sebagai tamu dalam pesta perayaan. Duncan tahu, ada sesuatu yang tak beres di sini.

Orang itu duduk, kepalanya tertunduk, menghindari tatap mata Duncan, dan saat balairung kembali ramai oleh hiruk pikuk pesta, orang itu menghabiskan semangkuk sup dan coklat yang tersaji di depannya, menyeruputnya bersama sepotong roti yang besar; ia tampak sangat kelaparan.

"Ceritakan padaku, berita apa yang kau bawa dari ibu kota?" kata Duncan setelah orang itu selesai makan; Duncan merasa penasaran.

Orang itu menggeser mangkuknya dengan perlahan dan kepalanya kembali tertunduk, ia tak ingin bertatap mata dengan Duncan. Meja perjamuan hening, menyaksikan raut muka suram orang itu. Mereka semua menunggu jawabannya.

Akhirnya, orang itu mengangkat wajahnya dan memandang Duncan, matanya merah, berkaca-kaca.

"Berita yang tak ingin didengar oleh siapa pun," katanya.

Duncan menenangkan diri, ia mencoba setabah mungkin.

"Katakanlah," ujar Duncan. "Lama kelamaan, berita buruk akan menjadi berita basi."

Orang itu memandang ke bawah ke arah meja, menggesek-gesekkan jarinya di permukaan meja dengan gugup.

"Terhitung sejak Bulan Musim Dingin ini, sebuah hukum Pandesia yang baru mulai diberlakukan di negeri kita: puellae nuptias.”

Duncan merasa darahnya membeku mendengar berita itu, dan mulut semua tamu ternganga karena marah, kemarahan yang sama yang juga ia rasakan. Puellae Nuptias. Benar-benar tak masuk akal.

"Kau yakin?" Desak Duncan.

Orang itu pun mengangguk.

"Mulai hari ini, putri pertama yang belum menikah dari setiap keluarga rakyat, bangsawan, dan prajurit di seantero Kerajaan, yang telah berusia lima belas tahun dapat sewaktu-waktu siap untuk diminta oleh Tuan Gubernur—entah untuk ia nikahi sendiri, maupun untuk orang yang ia kehendaki."

Duncan segera memandang Kyra, dan ia melihat mata Kyra menyiratkan keterkejutan dan kebencian. Semua tamu lain di ruangan itu dan semua prajurit pun berpaling dan memandang Kyra, mereka semua paham betapa gentingnya berita itu. Wajah gadis lain mungkin akan tampak ketakutan mendengar berita itu, namun Kyra justru tampak penuh dendam.

"Mereka tak boleh mengambilnya!" seru Anvin geram; suaranya memecah kesunyian. "Mereka tak boleh mengambil satu pun anak gadis kita!"

Arthfael menghunus belati dan menancapkannya di meja.

"Mereka boleh mengambil babi hutan kita, namun kita harus melawan hingga titik darah penghabisan jika mereka hendak mengambil anak gadis kita!"

Para prajurit lain berteriak menyatakan dukungan, amarah mereka memuncak, tampaknya akibat pengaruh minuman yang mereka tenggak juga. Maka suasana di dalam ruangan itu segera saja berubah menjadi tak baik.

Duncan perlahan berdiri, selera makannya telah hilang, dan seisi ruangan pun bungkam saat ia bangkit dari duduknya. Seluruh prajurit lain pun ikut berdiri sebagai tanda penghormatan.

"Pesta ini telah usai," kata Duncan dengan suara berat. Ia berkata demikian meskipun waktu belum juga lewat tengah malam—inilah kutukan mengerikan pada Bulan Musim Dingin.

 

Duncan berjalan menghampiri Kyra dengan membisu, dilewatinya para prajurit dan tamu-tamu kehormatan yang berdiri berjajar. Ia berdiri di atas kursi Kyra dan menatap matanya, lalu Kyra balas menatapnya, dengan mata yang menyiratkan kekuatan dan perlawanan, tatap mata yang membuat Duncan bangga. Di sampingnya, Leo pun memandang Duncan.

"Kemarilah, putriku," kata Duncan. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."

BAB TUJUH

Kyra duduk di dalam kamar ayahnya, sebuah ruang berdinding batu di lantai atas benteng, dengan langit-langit yang tinggi mengerucut dan perapian dari batu pualam yang besar, yang berjelaga karena usang; mereka masing-masing terdiam dalam kemuraman. Mereka duduk berseberangan di dekat perapian, masing-masing duduk di atas tumpukan karpet bulu, sambil menatap kayu yang bergemeletak dan berdesis dimakan bara api.

Benak Kyra kusut karena mendengar berita itu saat ia mengelus bulu-bulu Leo yang tengah meringkuk di kakinya, dan masih sulit baginya untuk memercayai berita itu. Perubahan akhirnya terjadi di Escalon, dan rasanya bagaikan hidup mereka telah berakhir. Kyra memandangi bara api, membayangkan akan jadi apa hidupnya nanti jika Pandesia merenggut dirinya dari keluarganya, dari benteng, dari segala hal yang ia kenal dan ia cintai, dan menikah dengan Tuan Gubernur yang tamak. Lebih baik ia mati.

Kyra biasanya suka berada di sini, di dalam kamar ini, di mana ia dapat menghabiskan waktu berjam-jam lamanya untuk membaca, hanyut dalam kisah-kisah tentang para pemberani dan kadang-kadang kisah-kisah legenda, kisah yang tak pernah ia yakini benar, apakah memang benar terjadi atau sekadar cerita khayalan saja. Ayahnya senang menjelajahi buku-buku lawasnya satu persatu dan membacakannya keras-keras untuk Kyra, kadang-kadang hingga pagi buta, membacakan kisah-kisah dari berbagai jaman dan dari berbagai tempat. Namun yang paling Kyra sukai adalah kisah-kisah para prajurit di dalam perang yang hebat. Leo selalu meringkuk di kakinya dan Aidan seringkali ikut mendengarkan di situ; seringkali pula, Kyra baru kembali ke kamarnya saat fajar menyingsing, dengan mata yang sayu kelelahan, setelah puas menyimak cerita-cerita itu. Kegemarannya membaca melebihi kesukaannya pada senjata, dan saat ia memandang dinding di kamar ayahnya yang penuh dengan deretan rak buku, dengan gulungan-gulungan perkamen dan naskah-naskah di lembaran kulit yang diwariskan dari masa ke masa, ia berharap dirinya bisa hanyut di dalamnya.

Namun saat ia melirik ke arah ayahnya dengan wajah yang tampak suram, kenyataan yang pahit pun harus kembali mereka hadapi. Malam ini bukanlah saat yang tepat untuk membaca. Ia belum pernah melihat ayahnya segundah itu, semarah itu, dan inilah pertama kalinya ia merasa tak tahu harus berbuat apa. Yang ia tahu, ayahnya adalah seorang pria yang hebat—seluruh anak buahnya bangga padanya—dan saat dahulu Escalon masih memiliki seroang raja, sebuah ibu kota, sebuah pelataran tempat para prajurit berkumpul, mereka semua rela menyerahkan nyawanya demi mendapatkan kemerdekaan. Ayahnya takkan pernah menyerah, takkan mau menukarkan kebebasannya demi apa pun. Namun mantan Raja mereka telah menggadaikannya, menyerah atas nama rakyatnya, dan membawa mereka ke dalam situasi yang memprihatinkan ini. Sebagai anggota pasukan yang terpecah belah dan tercerai berai, mereka takkan sanggup melawan musuh yang telanjur bercokol di antara mereka.

"Lebih baik kami kalah dalam pertempuran, lebih baik kami bertempur melawan Pandesia dan kalah dengan terhormat," kata ayahnya. Namun penyerahan diri yang dilakukan oleh Raja mereka pun adalah sebuah kekalahan—hanya saja, itu adalah kekalahan yang panjang, lama dan kejam. Hari demi hari, tahun demi tahun, kebebasan demi kebebasan dirampas dari kami, membuat kami menjadi manusia yang semakin tak berarti."

Kyra mengerti bahwa ayahnya benar; namun ia tak dapat memahami keputusan Raja Tarnis: Pandesia menguasai separuh wilayah dunia. Dengan pasukan budaknya yang sangat besar, mereka dapat membuat Escalon luluh lantak rata dengan tanah. Mereka tak pernah kekurangan pasukan, betapa pun banyaknya pasukan mereka yang mati. Setidaknya saat ini Escalon masih utuh, rakyatnya masih hidup—jika kondisi mereka bisa disebut hidup.

"Bagi mereka, ini bukan soal mengambil anak-anak gadis kita,: lanjut ayahnya; kata-katanya ditimpali oleh nyala api. "Ini tentang kekuatan. Ini soal penakulkan. Soal menghancurkan apa yang masih tersisa di dalam jiwa kita."

Ayahnya menatap nyala api dan Kyra dapat merasakan bahwa ayahnya tengah menerawang ke masa lalu sekaligus ke masa depannya. Kyra berharap pendirian ayahnya berubah dan menyatakan bahwa telah tiba waktunya untuk melawan, untuk mempertahankan apa yang mereka yakini, untuk bertahan. Sehingga ayahnya takkan pernah membiarkan mereka mengambil dirinya.

Namun sebaliknya, ayahnya hanya duduk diam, menerawang, merenung, tak berusaha menentramkan hatinya, dan itulah yang membuatnya semakin kecewa dan marah. Ia tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh ayahnya, terlebih setelah percekcokan mereka sebelumnya.

"Ayah ingat masa-masa ketika ayah masih mengabdi Sang Raja," kata ayahnya dengan perlahan, suaranya yang dalam dan berat membuatnya merasa tenang, seperti biasanya, "ketika seluruh negeri ini masih bersatu. Escalon benar-benar tak terkalahkan. Kami hanya perlu menugaskan penjaga di Benteng Api untuk menahan para troll dan di Gerbang Selatan untuk menahan Pandesia. Kami adalah orang-orang merdeka selama berabad-abad, dan seharusnya selalu menjadi orang merdeka."

Ia membisu untuk beberapa saat lamanya; api berkobar-obar, dan sambil mengelus kepala Leo, Kyra sabar menunggu ayahnya menyelesaikan ceritanya.

"Andai saja Tarnis memerintahkan kami untuk mempertahankan gerbang itu, kami pasti akan menjaganya hingga titik darah penghabisan," lanjutnya. "Kami semua rela mati demi kemerdekaan. Namun pada suatu pagi hari, kami terbangun dan melihat seluruh penjuru negeri telah diduduki oleh pasukan mereka," kata ayahnya, dengan mata terbelalak karena marah, seolah kejadian itu terulang lagi di depan matanya.

"Aku tahu semua itu," kata Kyra; ia tak sabar lagi, lelah mendengar cerita yang sama berulang-ulang.

Ayahnya berpaling padanya, tatap matanya menyiratkan kekalahan.

"Jika rajamu telah menyerah, jika musuh telah berada di antara kalian, apa lagi yang bisa diperjuangkan?" tanya ayahnya.

Kyra kesal.

"Tak semua raja layak menyandang tahtanya," kata Kyra, kesabarannya telah habis. "Seorang raja pun hanyalah manusia biasa. Dan manusia adalah tempatnya kesalahan. Kadang-kadang, mungkin jalan terbaik adalah dengan menentang raja kita."

Ayahnya menghela nafas, pandangannya menerawang ke dalam bara api; ia tak sepenuhnya menyimak apa yang dikatakan Kyra.

"Kita yang di sini, di Volis, hidup jauh lebih baik daripada mereka yang tinggal di seluruh wilayah Escalon yang lain. Kita diizinkan memiliki senjata—senjata yang sesungguhnya—tidak seperti di tempat lain; segala jenis senjata mereka dilucuti, dan diancam dengan hukuman mati. Kita diizinkan berlatih, mereka memberi kita kebebasan semu—sekadar agar kita puas. Tahukah kau mengapa mereka melakukannya?" tanya ayahnya sembari berpaling padanya.

"Karena ayah adalah ksatria terbaik Raja," balas Kyra. "Karena mereka ingin memberikan penghormatan yang layak untuk ayah."

Ayahnya menggeleng.

"Bukan," kata ayahnya. "Ini karena mereka membutuhkan kita. Mereka membutuhkan Volis untuk menjaga Benteng Api. Mereka membutuhkan kita semua yang melindungi mereka dari Marda. Pandesia jauh lebih takut akan Marda. Ini semua hanya karena kita ini adalah Sang Penjaga. Mereka menjaga Benteng Api dengan pasukan mereka sendiri, dengan serdadu aplusannya sendiri, namun tak ada satu pun yang sewaspada pasukan kita.

Kyra memikirkan hal itu.

"Aku selalu berpikir lebih jauh dari itu, berpikir lebih jauh dari apa yang dipikirkan oleh Pandesia. Namun malam ini, Ayah sadar semua itu tak benar," kaya ayahnya bersungguh-sungguh, sembari memalingkan wajah padanya. "Berita ini....Ayah telah menunggu sesuatu selama beberapa tahun ini. Ayah tak tahu berapa lama. Dan setelah persiapan bertahun-tahun, akhirnya datang pula berita itu...tak ada lagi yang dapat ayah lakukan."

Kepalanya tertunduk dan matanya menatap Kyra; ia terkejut saat merasakan ada kebencian yang muncul dari dalam diri Kyra.

"Apakah maksudnya, ayah akan membiarkan mereka mengambilku?" tanya Kyra. "Apakah maksudnya, ayah takkan melawan demi aku?"

Raut muka Kyra pun semakin muram.

"Kau masih muda, naif." kata ayahnya. "Kau tak mengerti bagaimana segala sesuatu berjalan di dunia ini. Kau hanya melihatnya dari sisi sebuah pertempuran—bukan dari akibatnya bagi seluruh kerajaan ini. Jika ayah bertempur demi dirimu, jika pasukan ayah bertempur demi dirimu, kita mungkin bisa memenangi satu pertempuran. Namun mereka akan kembali, bukan hanya dengan seratus pasukan, atau seribu, atau sepuluh ribu—namun dengan lautan pasukan. Jika ayah bertempur demi dirimu, maka sama saja ayah mengantarkan seluruh rakyat ini menuju kematian."

Kata-kata ayahnya itu menyayat bagai sembilu, membuat hatinya remuk, bukan hanya karena kata-kata itu saja, namun juga karena keputusasaan yang tersirat darinya. Satu sisi dalam dirinya ingin membawanya berlari keluar, muak, sangat kecewa akan seseorang yang pernah sangat ia kagumi. Hatinya bagai menangis karena pengkhianatan yang ia terima.

Ia masih berdiri di situ, gemetar, dan menatap marah pada ayahnya.

"Ayah, prajurit terbaik di negeri ini—takut melindungi kehormatan putrimu sendiri?" kata Kyra.

Ia melihat muka ayahnya memerah karena terhina.

"Jaga mulutmu," hardik ayahnya.

Namun Kyra takkan surut.

"Aku benci ayah!" teriaknya.

Sekarang ganti Kyra yang bersikeras.

"Apakah kau ingin seluruh rakyat kita terbunuh?" teriak ayahnya pula. "Dan semua itu demi kehormatanmu?"

Kyra tak tahan lagi. Sejauh yang ia ingat, inilah kali pertama ia menangis, hatinya terluka sangat dalam karena ketidakpedulian ayahnya.

Ayahnya melangkah maju untuk menenangkannya, namun Kyra menunduk dan menghindarinya sambil menangis. Namun kemudian ia menenangkan diri dan segera berpaling, lalu menghapus air matanya, sembari memandang perapian itu dengan mata berkaca-kaca.

"Kyra," kata ayahnya lembut.

Ia menatap ayahnya dan dilihatnya mata ayahnya berkaca-kaca pula.

"Tentu saja ayah akan berjuang demi dirimu," katanya. "Ayah akan berjuang demi dirimu, hingga titik darah terakhir. Ayah dan seluruh pasukan ayah, rela mati demi dirimu. Dan jika kemudian pecahlah perang, kau pun akan mati juga. Itukah yang kau inginkan?"

"Dan jika aku mereka ambil?" tukas Kyra. "Itukah yang ayah inginkan?"

Kyra tahu bahwa sikapnya ini egois, ia mementingkan dirinya sendiri, dan itu bukanlah sifat aslinya. Tentu saja ia takkan membiarkan orang lain mati demi dirinya. Ia hanya ingin mendengar ayahnya berkata: Ayah akan berjuang demi dirimu. Apa pun risikonya. Kau adalah yang utama. Kau adalah yang paling penting.

Namun ayahnya diam saja, dan kebisuan itu membuatnya sakit hati, lebih dari apa pun.

"Aku akan berjuang untukmu!" seru seseorang.

Kyra berpaling dan terkejut, dilihatnya Aidan memasuki kamar, menggenggam sebuah tombak kecil, dan berusaha terlihat segagah mungkin.

"Apa yang kau lakukan di sini?" sergah ayahnya. "Ayah sedang berbicara dengan kakakmu."

"Dan aku menguping pembicaraan itu!" kata Aidan sambil melangkah masuk, dengan Leo yang mengikuti di belakangnya sambil menjilat-jilat kakinya.

Kyra hanya bisa tersenyum. Aidan punya sifat pembangkang yang sama dengan dirinya, meskipun ia masih terlalu muda dan terlalu kecil untuk mengimbangi tekadnya itu.

"Aku akan bertempur demi kakakku!" imbuhnya. "Meskipun aku harus melawan para troll dari Marda!"

Kyra merengkuh dan memeluknya, lalu mencium kening adiknya.

Ia menghapus air matanya dan berpaling menghadap ayahnya, dengan raut muka masam. Ia menginginkan sebuah jawaban; ia ingin mendengar ayahnya mengatakannya.

"Apakah aku tidak lebih penting daripada anah buah ayah?" tanya Kyra pada ayahnya.

Ayahnya memandang dengan tatapan penuh kepedihan.

"Kau lebih berarti bagiku daripada seluruh isi dunia ini," kata ayahnya. "Namun aku bukan hanya ayahmu—aku adalah seorang Komandan. Anak buahku adalah tanggung jawabku juga. Dapatkah kau memahaminya?"

 

Kyra mengernyit.

"Lalu tanggung jawab siapakah ini, Ayah? Sejak kapan anak buahmu menjadi lebih penting daripada keluargamu Jika perampasan satu-satunya anak perempuanmu bukan tanggung jawabmu, lalu tanggung jawab siapa? Aku yakin jika yang dirampas adalah anak laki-lakimu, maka ayah pasti akan bertempur mempertahankannya."

Ayahnya geram.

"Bukan demikian maksudnya," tukas ayahnya.

"Lalu apa?" sergah Kyra bersikeras. "Mengapa hidup seorang anak lelaki lebih berharga daripada hidup anak perempuan?"

Ayahnya naik pitam, menarik nafas panjang dan melepas rompinya; baru kali ini Kyra melihat ayahnya sekesal itu.

"Ada cara lain," kata ayahnya pada akhirnya.

Kyra memandangnya dengan penuh tanda tanya.

"Besok, kau harus memilih seorang lelaki," kata ayahnya perlahan dengan suara berwibawa, seolah ia tengah berbicara pada para anggota dewan kehormatan. "Pilihlah salah satu lelaki yang kau suka dari antara orang-orang itu. Kau harus segera menikah pada sore harinya. Saat pada Pasukan Pengawal datang, kau telah menikah. Dan mereka tak dapat membawamu. Kau akan aman di sini bersama kami."

Kyra menatap ayahnya dengan terperanjat.

"Ayah sungguh-sungguh ingin agar aku menikahi seorang lelaki yang tidak kukenal?" tanya Kyra. "Dan aku harus memilihnya begitu saja, betul begitu? Memilih seseorang yang tidak kucintai?"

"Benar!" seru ayahnya dengan wajah merah, sama tegasnya. "Jika ibumu masih hidup, ia yang akan mengurus soal ini semua—ia yang akan mengurusnya beberapa tahun yang lalu, sebelum berita itu tiba. Namun ia telah tiada. Kau bukanlah seorang prajurit—kau adalah seorang gadis. Dan seorang gadis harus menikah. Habis perkara. Dan jika kau belum juga memilih seorang calon suami hingga senja esok, ayah yang akan memilihkannya untukmu—dan tak ada lagi yang perlu kita perdebatkan soal pilihan itu!"

Kyra menatap ayahnya, muak, marah—namun terlebih lagi, ia kecewa.

"Jadi begitu cara Komandan Duncan memenangkan perang?" tanya Kyra berniat menyinggungnya. "Mencari celah hukum untuk bersembunyi dari penjajahnya?"

Kyra tak lagi menunggu tanggapan ayahnya, namun segera berbalik dan berlari keluar kamar; Leo mengikuti dari belakang, dan membanting pintu besar dari kayu pohon ek.

"KYRA!" bentak ayahnya—namun bunyi pintu yang dibanting itu menelan suara teriakannya.

Kyra berjalan menyusuri koridor, ia merasa limbung, seakan kakinya tengah berpijak pada tanah yang terus terombang-ambing. Seiring langkah demi langkah kakinya, ia sadar bahwa ia tak boleh lagi tetap tinggal di benteng ini. Keberadaannya akan membahayakan seisi benteng. Dan ia tak dapat membiarkan hal itu terjadi.

Kyra tak dapat memahami kata-kata ayahnya. Ia tak sudi, takkan pernah sudi, menikah dengan seseorang yang tidak ia cintai. Ia takkan menyerah begitu saja dan menjalani hidup sebagai seorang istri seperti semua wanita lain. Lebih baik ia mati. Apakah ayahnya tak bisa memahami hal itu? Apakah ayahnya sama sekali tak mengenal putrinya ini?

Kyra berhenti di depan kamarnya, mengenakan sepatu bot musim dingin, mengerudungi tubuhnya dengan mantel bulu yang paling tebal, mengambil busur dan tongkatnya, lalu ia terus berjalan lagi.

"KYRA!" suara marah ayahnya bergema di sepanjang koridor.

Ia takkan memberikan kesempatan pada ayahnya untuk menghentikan dirinya. Kyra terus berjalan, menyusuri koridor demi koridor; ia bertekad takkan pernah kembali lagi ke Volis. Apa pun yang terjadi di luar sana, di dunia nyata, ia akan menghadapinya. Ia tahu ia bisa saja mati—namun setidaknya, ia mati karena pilihannya. Setidaknya ia tak perlu menjalani hidup demi menuruti keinginan orang lain.

Kyra tiba di pintu utama benteng bersama dengan Leo di sebelahnya, dan para pelayan yang berdiri di situ, di bawah obor yang telah padam, menatap penuh tanda tanya pada Kyra.

"Tuan putri," kata salah seorang dari mereka. "Malam telah larut. Di luar badai turun."

Namun Kyra berdiri saja di situ dengan tegas, hingga akhirnya mereka sadar bahwa Kyra takkan menyurutkan langkahnya. Mereka saling berpandangan dengan ragu, lalu masing-masing saling berbicara berbisik-bisik dan perlahan membuka pintu yang berat itu.

Saat pintu terbuka, embusan angin yang dingin menerpa dan meniup wajah mereka, angin disertai salju yang dingin menggigit. Kyra merapatkan mantel bulunya, memandang ke tanah dan dilihatnya salju telah menumpuk setinggi betisnya.

Kyra melangkah keluar menembus salju, dan ia tahu bahwa berada di luar di malam hari amatlah berbahaya; hutan itu dipenuhi oleh berbagai macam mahkhluk, para penjahat kawakan, dan mungkin juga para troll. Apalagi pada malam seperti ini, malam Bulan Musim Dingin, sebuah malam dalam satu tahun saat semua orang seharusnya tetap tinggal di dalam rumah dan memasang gerendel pintu gerbangnya; malam ketika arwah orang mati kembali ke dunia dan apa pun dapat terjadi. Kyra memandang ke atas dan dilihatnya bulan yang besar berwarna merah darah tergantung di kaki langit, seakan menggoda dirinya.

Kyra menarik nafas dalam-dalam, mulai melangkah dan tak kembali lagi, ia telah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi malam ini.