Za darmo

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Z serii: Raja dan Penyihir #1
0
Recenzje
Oznacz jako przeczytane
Czcionka:Mniejsze АаWiększe Aa

Kyra melihat Anvin yang mengamati luka itu; mata Anvin menyipit dan Kyra tahu bahwa dalam sekejap Anvin telah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Anvin membungkuk, melepaskan sarung tangannya, memegang mata babi hutan itu lalu mengambil mata panah yang menancap di sana. Ia mengacungkannya, masih berlumuran darah; lalu ia berpaling pada kedua kakaknya dengan tatap mata curiga.

"Mata tombak, betul?" tanya Anvin menyanggah.

Kerumunan orang terdiam dan tegang karena Brandon dan Braxton tampak gugup. Mereka gelisah.

Kemudian Anvin memandang Kyra.

"Atau sebuah mata panah?" imbuhnya, dan Kyra merasa ini masih akan berlanjut hingga Anvin membuat kesimpulannya.

Anvin berjalan menghampiri Kyra, mengambil sebuah anak panah dari sarungnya, dan menjajarkannya dengan mata panah tadi. Semua orang bisa melihat, bahwa keduanya sama persis. Ia memandang Kyra dengan tatapan bangga dan penuh makna, dan Kyra merasa kini semua mata tertuju padanya.

"Bidikanmu, benar?" tanya Anvin padanya. Namun kata-kata itu lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.

Kyra mengangguk.

"Benar," jawabnya datar; ia senang karena Anvin memberikan sebuah pengakuan atas kemampuannya, dan dengan begitu ia merasa bahwa kebenaran akhirnya terbukti.

"Dan bidikan itulah yang melumpuhkannya," ujar Anvin menyimpulkan. Sekali lagi kata-kata itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan; keputusan yang mantap dan tegas setelah mengamati babi hutan itu.

"Aku tidak melihat luka lain selain dua buah luka akibat anak panah ini," tambah Anvin seraya tangannya meraba babi hutan itu—lalu berhenti di telinganya. Anvin mengamati telinga babi hutan itu, lalu berpaling dan menatap Brandon serta Braxton dengan pandangan mencemooh. "Kecuali jika kalian menyebut goresan mata tombak ini sebagai luka."

Anvin menegakkan telinga babi hutan itu, dan muka Brandon serta Braxton merah padam saat para prajurit di situ tertawa terbahak-bahak.

Seorang prajurit termashyur anak buah ayahnya maju ke depan—Vidar, sahabat karib Anvin, seorang pria pendek dan kurus berusia tiga puluhan, dengan wajah suram dan bekas luka melintang di hidungnya. Dengan postur tubuhnya yang kecil, ia terlihat tak cocok menjadi prajurit; namun Kyra mengenal seperti apa sesungguhnya pria ini: Vidar keras bagaikan batu, ia terkenal akan kemampuan bertarung dengan tangan kosong. Ia adalah salah satu prajurit tertangguh yang pernah Kyra kenal, yang pernah merobohkan dua pria dengan badan dua kali lebih besar darinya. Karena tubuh kecilnya itu, banyak orang yang sembrono menjajal kemampuannya—dan akhirnya harus membayar mahal demi mendapatkan pelajaran berharga. Pria ini pun adalah pembimbing Kyra, dan ia selalu melindunginya.

"Sepertinya bidikan mereka berdua meleset," simpul Vidar, "dan gadis ini menyelamatkan nyawa mereka. Siapa yang mengajari kalian menombak?"

Brandon dan Braxton terlihat sangat gugup karena kebohongannya terkuak, dan tak satu pun dari mereka berani angkat bicara.

"Berbohong tentang hasil buruan adalah sesuatu yang sangat menyedihkan," kata Anvin muram, sembari memandang kedua kakaknya. "Enyahlah sekarang juga. Ayah kalian ingin mendengar pengakuan jujurmu."

Brandon dan Braxton hanya dapat berdiri sambil belingsatan, jelas mereka merasa kikuk, saling memandang seolah berdebat jawaban apa yang harus mereka berikan. Sejauh ingatan Kyra, baru kali ini lidah kedua kakaknya kelu tak dapat berkata apa-apa.

Tepat saat kakak-kakaknya ini hendak mengucapkan sesuatu, sekonyong-konyong sebuah suara asing menyela.

"Tak peduli siapa yang membunuhnya," kata suara itu. "Babi hutan itu sekarang menjadi milik kami."

Kyra dan semua orang di situ berpaling, terkejut akan suara kasar dan asing itu—dan perutnya mendadak mual saat ia melihat segerombolan Pasukan Pengawal dengan baju zirahnya yang mencolok merangsek maju, dan orang-orang pun menyingkir. Mereka mendekati babi hutan itu, memandanginya dengan rakus, dan Kyra tahu bahwa mereka menginginkan hasil buruan ini—bukan lantaran mereka memang memerlukannya, namun sekadar demi mempermalukan orang-orang di situ, dengan merampas apa yang mereka banggakan. Leo menggeram di sampingnya, lalu ia mengelus lehernya untuk menenangkan dan menahannya.

"Atas nama Tuan Gubernur, kami ambil babi hutan ini," kata Pemimpin Pasukan Pengawal, seorang prajurit berbadan gempal dengan kening yang rendah, alis tebal, perut buncit dan wajah tolol yang berkerut. "Beliau berterima kasih atas hadiah dari kalian pada pesta perayaan ini."

Ia memberi isyarat pada anak buahnya dan mereka pun maju mendekati babi hutan itu, lalu hendak mengambilnya.

Tiba-tiba Anvin melangkah dengan Vidar di sisinya, lalu menghalangi mereka.

Orang-orang terkesiap—tak seorang pun berani menentang Pasukan Pengawal; demikianlah bunyi aturan tak tertulisnya. Tak seorang pun ingin menyulut amarah Pandesia.

"Setahuku, tak ada yang memberikan hadiah ini padamu," kata Anvin dengan suara dingin, "tidak juga pada Tuan Gubernur."

Kerumunan orang bertambah banyak, ratusan penduduk desa berkumpul untuk menyaksikan perselisihan ini, dan merasa bahwa pertikaian akan timbul. Saat itu juga, beberapa orang yang lain menyingkir, memberi ruang bagi dua orang yang tengah saling berhadapan ini, dan suasana pun semakin menegangkan.

Kyra merasa jantungnya berdegup kencang. Tak sadar, tangannya menggenggam erat busur miliknya karena suasana makin memanas. Seberapa pun ia menginginkan pertempuran dan menginginkan kebebasan, ia juga tahu bahwa orang-orang ini tak sanggup menanggung murka Tuan Gubernur; bahkan jika entah bagaimana mereka mampu mengalahkan para Pasukan Pengawal ini, Kerajaan Pandesia telah siap di belakang Pasukan Pengawal. Pandesia sanggup mengumpulkan pasukannya yang luar biasa banyak.

Namun di saat yang sama, Kyra sangat bangga pada Anvin yang berani menghadapi mereka. Akhirnya, ada juga seseorang yang berani menghadapinya.

Pemimpin Pasukan itu memandang Anvin dengan marah.

"Beraninya kau membantah Tuan Gubernur?" tanyanya.

Anvin bergeming.

"Babi hutan ini milik kami—tak seorang pun sudi memberikannya padamu," kata Anvin.

"Tadinya milik kalian, tapi sekarang ini milik kami," sanggah Pemimpin Pasukan Pengawal. Ia memandang anak buahnya. "Ambil babi hutan ini," perintahnya.

Para Pasukan Pengawal maju, dan pada saat yang sama para pasukan ayahnya pun maju, mendukung Anvin dan Vidar, menghalangi jalan Pasukan Pengawal, dengan senjata yang siap terhunus.

Ketegangan makin memuncak, Kyra menggenggam erat-erat busurnya hingga buku-buku jarinya berwarna putih; ia berdiri di situ dengan perasaan yang amat ngeri, ia merasa dirinyalah yang mengakibatkan masalah ini timbul, karena dialah yang membunuh babi hutan itu. Firasatnya berkata bahwa akan terjadi hal yang buruk, dan ia menyumpahi kedua kakaknya yang membawa pulang binatang terkutuk itu ke desa, terlebih saat ini adalah Bulan Musim Dingin. Keanehan-keanehan selalu muncul pada saat pesta perayaan; itulah saat-saat mistis di mana konon arwah orang mati akan menyeberang ke alam lain. Mengapa pula kedua kakaknya ini memanggil arwah-arwah itu dengan cara demikian?

Saat kedua pemimpin pasukan itu saling berhadapan, anak buah ayahnya telah bersiap menghunus pedang, dan pertumpahan darah akan pecah sebentar lagi; tiba-tiba sebuah suara berwibawa terpekik di udara, memecah kesunyian.

"Buruan ini milik gadis itu!" demikian kata suara itu.

Suara itu lantang dan mantap, sebuah suara yang mampu mengalihkan perhatian, suara yang Kyra kagumi dan hormati lebih dari apa pun di dunia ini; itulah suara ayahnya, Komandan Duncan.

Semua mata tertuju padanya saat sang ayah tiba, lalu kerumunan orang banyak menyingkir dengan segan, memberinya jalan. Ia berdiri di situ dengan badannya yang tegap, dua kali lebih tinggi dari semua orang di situ, dengan dada yang jauh lebih bidang, dengan jenggot coklatnya yang lebat dan rambut panjang kecoklatan, dihiasi oleh semburat abu-abu dari ubannya; bahunya berbalut mantel bulu dan dua buah pedang panjang tersandang di pinggangnya, serta sebuah tombak tersampir di punggungnya. Baju yang dikenakannya adalah zirah hitam Volis, dengan ukiran naga di bagian dadanya, yang menjadi lambang desanya. Pedangnya terasah oleh begitu banyak pertempuran, dan ia sendiri memancarkan pengalaman yang mumpuni. Ia adalah seseorang yang pantas ditakuti, seorang pria yang layak dikagumi, seorang pria yang terkenal adil dan bijaksana. Ia adalah sosok yang dicintai, dan yang paling penting, ia adalah seseorang yang terhormat.

"Babi hutan itu milik Kyra," ulangnya, melihat sekilas penuh sanggahan pada kedua kakaknya, lalu berpaling dan menatap Kyra; tak dipedulikannya para Pasukan Pengawal di situ. "Biarlah ia yang menentukan nasibnya."

Kyra terkesiap oleh kata-kata ayahnya. Ia tak pernah menduga kata-kata itu, tak pernah pula ia menduga akan diberi tanggung jawab seperti ini, sehingga ia harus membuat keputusan yang sulit. Mereka berdua tahu bahwa ini lebih dari sekadar keputusan soal seekor babi hutan, namun ini soal nasib rakyat mereka.

Kedua belah pasukan yang tegang berjajar berhadapan, semuanya siap menghunus pedang; dan saat Kyra memandangi wajah-wajah itu, mereka semua berpaling padanya, semua menunggu jawabannya; ia mengerti benar, pilihan yang akan ia buat, kata-kata yang akan ia ucapkan, akan menjadi kata-kata paling penting yang pernah keluar dari mulutnya.

BAB EMPAT

Merk menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan perlahan, ia tengah menuju ke Whitewood, sembari merenungi hidupnya. Empat puluh satu tahun dalam hidupnya adalah masa yang berat; ia belum pernah meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri hutan, demi mengagumi keindahan di sekitarnya. Ia memandang dedaunan putih yang bergemerisik di bawah kakinya, ditingkahi bunyi tongkatnya saat ia menapakkak kakinya di tanah hutan yang lunak; ia memandang ke depan sembari berjalan, menikmati keindahan pepohonan Aesop, dengan daun-daun putihnya dan cabang-cabang merah merona, gemerlapan tertimpa sinar matahari pagi. Daun-daun gugur menimpanya bagai salju yang turun, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasakan suasana damai yang sejati.

 

Dengan tinggi badan dan posturnya yang sedang, rambutnya yang hitam legam, wajah yang lama tak bercukur, rahang lebar, tulang pipi yang panjang dan menonjol, serta mata hitam yang lebar dengan kantung mata hitam di bawahnya, Merk selalu terlihat seperti orang yang kurang tidur. Dan memang itulah yang ia rasakan. Kecuali hari ini. Hari ini, ia akhirnya merasa dapat beristirahat. Di sini, di Ur, di ujung timur laut Escalon, salju tidak turun. Angin hangat berembus dari laut, namun saat angin bertiup ke barat, cuaca menjadi lebih hangat dan bunga-bunga beraneka warna akan mekar. Cuaca seperti itu membuat Merk bisa singgah hanya dengan mengenakan sepotong jubah, tanpa harus menghangatkan diri dari angin yang dingin, seperti kebanyakan orang di Escalon. Ia masih membiasakan diri mengenakan jubah untuk menggantikan baju zirah, menggunakan tongkat sebagai pengganti pedang, dan menumpukan tongkatnya pada dedaunan alih-alih menusuk lawannya dengan pisau belati. Ini semua adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tengah mencoba seperti apa rasanya menjadi seseorang yang ia dambakan. Rasanya sangat damai—namun ganjil. Seolah ia sedang berpura-pura menjadi orang lain.

Itu semua lantaran Merk bukanlah seorang pengelana, dan bukan seorang pertapa—pun ia bukanlah seorang pecinta damai. Dalam dirinya, mengalir darah seorang prajurit. Dan ia bukanlah prajurit sembarangan; ia adalah seseorang yang bertempur dengan caranya sendiri, dan ia tak pernah kalah. Ia adalah seorang pria yang tak takut menghadapi pertempuran, entah itu pertempuran dengan tombak di atas kudanya atau perkelahian di kedai minum yang sering ia kunjungi. Seperti sebutan orang-orang, ia adalah seorang prajurit bayaran. Seorang pembunuh. Ahli pedang bayaran. Ada banyak julukan untuk dirinya, termasuk julukan yang kurang ajar; namun Merk tak ambil pusing soal julukan, pun tak peduli akan anggapan orang atas dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah bahwa ia merupakan salah satu petarung terbaik.

Sesuai dengan pekerjaannya, Merk memiliki banyak nama yang dapat ia ganti-ganti sesukanya. Ia tak suka dengan nama pemberian ayahnya—dan sesungguhnya ia pun tak menyukai ayahnya—, maka ia tak akan menjalani hidup cukup dengan satu nama yang diberikan orang padanya. Merk adalah orang yang paling sering berganti nama, dan ia menyukai nama yang dipakainya saat ini. Ia tak peduli orang lain akan memanggilnya dengan nama yang mana. Hanya dua hal yang ia pedulikan dalam hidup ini, yaitu: menemukan tempat yang tepat untuk menancapkan belatinya, dan memastikan bahwa orang yang menyewanya membayar upahnya dengan emas, dalam jumlah yang besar.

Sejak kecil Merk sadar bahwa ia memiliki bakat alami, yang membuatnya selalu lebih unggul dari orang lain dalam segala hal. Saudara-saudara laki-lakinya, sama seperti ayah dan moyangnya yang termashyur, adalah para bangsawan luhur dan terhormat, dalam balutan baju zirah, berlapis besi terbaik, menunggang kuda, mengibarkan panji-panji kebesaran dengan rambut yang indah serta memenangkan perlombaan, lantas para gadis terpesona, menaburkan bunga di bawah kaki mereka. Mereka amat bangga pada dirinya sendiri.

Toh, Merk tak suka dengan segala kemegahan dan kegemerlapan itu. Para ksatria itu tampak kaku saat bertarung, sangat tak cakap, dan Merk sama sekali tak menaruh hormat pada mereka. Pun ia tak butuh pengakuan, lencana atau panji-panji atau jubah atau senjata seperti yang didambakan oleh para ksatria itu. Barang-barang semacam itu hanyalah untuk mereka yang tak punya sesuatu yang paling penting, yaitu: kemampuan untuk membunuh dengan cepat, tepat dan tenang. Dalam benaknya, tak ada lagi hal yang lebih penting.

Sewaktu kecil, ada beberapa kawannya yang terlalu lemah untuk membela diri, dan mereka menghadapi masalah; lalu mereka mendatangi Merk yang saat itu telah tenar karena keahliannya bermain pedang, dan Merk pun mendapat bayaran untuk membantu mereka. Para pengganggu kawan-kawannya itu tak pernah berani mengusik mereka lagi, sejak Merk menunjukkan keberaniannya. Kabar cepat tersebar tentang keberanian Merk; ia pun lebih sering disewa, dan kemampuan membunuhnya pun meningkat.

Merk bisa saja memilih menjadi seorang ksatria, seorang prajurit terkenal seperti saudara-saudaranya. Namun toh ia lebih memilih bekerja diam-diam semacam ini. Yang menarik baginya adalah bagaimana memenangi pertarungan, kecepatan membunuh lawan, dan ia segera tahu bahwa para ksatria itu, dengan senjata-senjatanya yang hebat dan baju zirah tebal, tak sampai separuh kemampuannya dalam hal kecepatan atau ketepatan membunuh lawan, sedangkan ia hanyalah seorang pria yang bertarung seorang diri, dengan baju kulit dan belati yang tajam.

Saat ia berjalan sembari menumpukan tongkatnya pada dedaunan, ia teringat suatu malam di sebuah kedai minum bersama saudara-saudara laki-lakinya, tatkala terjadi pertikaian dengan kstaria lawan. Saudaranya terkepung, kalah jumlah, dan saat para ksatria itu masih sibuk berbasa-basi sebelum bertarung, Merk tak mau berlama-lama. Ia melesak cepat dengan belati di tangannya dan menggorok leher semua lawannya, sebelum mereka sempat menghunus pedangnya.

Semestinya saudara-saudaranya berterima kasih padanya karena telah menyelamatkan nyawa mereka—namun mereka semua justru menjauhinya. Mereka takut akan dirinya, dan mereka meremehkan dirinya. Itulah ungkapan terima kasih yang ia dapatkan, dan pengkhianatan yang sangat melukai hati Merk lebih dari apa pun juga. Hal itu semakin membuat hubungan mereka renggang, ditambah dengan segala tetek bengek keningratan dan kesopansantunan. Di matanya, semua itu tak lebih dari kemunafikan, keegoisan; mereka kini mungkin dapat berjalan congkak dengan baju zirah yang mengkilap dan meremehkan dirinya, namun tanpa Merk dan belatinya, mereka pastilah telah terbujur kaku meregang nyawa di kedai minuman itu.

Merk terus berjalan, menghela nafas, berusaha melupakan masa lalunya. Dalam perenungannya, ia menyadari bahwa ia tak sepenuhnya tahu dari mana bakatnya itu berasal. Mungkin karena ia gesit dan tangkas; mungkin juga karena gerakan lengan dan tangannya sangat cepat; mungkin karena ia punya bakat istimewa untuk menemukan titik lemah di tubuh manusia; mungkin karena ia tak pernah ragu-ragu beraksi lebih berani, untuk melakukan tusukan pamungkas yang tak dapat dilakukan oleh orang lain; mungkin; mungkin karena ia melumpuhkan lawannya dalam sekali serang; atau mungkin karena ia mampu berimprovisasi, sanggup membunuh dengan senjata apa pun yang ia miliki—entah itu bulu ayam, palu, atau batang kayu tua. Ia jauh lebih terampil dari orang lain, lebih pandai menyesuaikan diri dan kakinya bergerak lebih cepat—sebuah kombinasi yang mematikan.

Seiring ia beranjak dewasa, semua ksatria angkuh itu makin menjauhinya, bahkan diam-diam mengejeknya (karena tak seorang pun dari mereka yang berani mengejeknya terang-terangan). Namun kini saat usia mereka tak lagi muda, ketika kekuatan mereka telah berkurang dan seiring namanya yang semakin tenar, ia adalah satu-satunya yang menjadi pasukan kerajaan, sementara semua saudaranya yang lain telah terlupakan. Ini semua lantaran para saudaranya itu tak memahami bahwa kesopansantunan tidak membuat seseorang layak menjadi raja. Alih-alih, yang menentukan adalah kekerasan yang berbahaya dan kejam, ketakutan, kemampuan menaklukkan lawan, dan sekaligus kemampuan membunuh yang mengerikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan saat tugas nyata sebagai seorang raja harus dituntaskan, kepada dirinyalah mereka menyerahkannya.

Dengan setiap jejakan tongkat pada dedaunan, Merk teringat akan setiap lawan yang dibunuhnya. Ia pernah membunuh musuh bebuyutan sang Raja—bukan dengan meracuninya—musuh yang pernah mereka coba tumpas dengan menyewa pembunuh bayaran, ahli pembuat racun, dan wanita penggoda. Musuh terbesar yang ingin mereka bunuh demi menyampaikan sebuah pesan, dan untuk itu, mereka membutuhkan bantuan Merk. Mereka menginginkan kematian yang mengerikan, yang dilihat oleh banyak orang: dengan belati yang menancap di bola matanya; dengan mayatnya yang tergeletak di pelataran terbuka, atau terjuntai di jendela, agar semua orang bisa melihatnya keesokan paginya, agar semua orang bertanya-tanya siapa gerangan yang berani melawan sang Raja.

Namun saat Raja Tarnis menyerah dan takluk pada Pandesia, Merk pun merasa pupus, dan untuk kali pertama ia merasa tak ada tujuan dalam hidupnya. Tanpa mengabdi pada sang Raja, ia merasa hidupnya terombang-ambing. Sesuatu yang telah lama bergejolak dalam dirinya kini muncul lagi, dan entah mengapa ia tak dapat memahami, betapa dirinya mulai mempertanyakan arti hidupnya. Seluruh hidupnya diisi oleh hasrat akan kematian, dorongan untuk membunuh dan mencabut nyawa lawannya. Hidupnya terasa demikian mudah—bahkan terlalu mudah. Namun kini, ada sesuatu dalam dirinya yang tengah berubah; seolah ia nyaris tak memiliki pijakan yang mantap dalam hidupnya. Ia sangat paham betapa rapuhnya hidup ini, betapa mudahnya hidup ini berakhir, namun kini ia mulai bertanya-tanya bagaimana mempertahankan hidupnya. Jika hidup demikian rapuh, bukankah mempertahankan hidup itu adalah tantangan yang jauh lebih berat daripada mengakhirinya?

Dan dalam hatinya, ia mulai bertanya: apakah hidup ini yang telah ia renggut dari lawan-lawannya?

Merk tak mengerti apa yang membuatnya mulai merenungkan diri, namun jelas perenungan ini membuatnya merasa tak enak hati. Ada sesuatu yang muncul dari dalam dirinya, rasa muak yang tak terperikan, dan ia menjadi jijik membunuh—rasa jijik itu kini sama besarnya dengan kesukaannya untuk membunuh di masa lalunya. Ia berharap ada sesuatu yang dapat ia anggap menjadi pemicu dari semua ini—misalnya, pembunuhan yang ia lakukan pada seseorang—tapi bukan itu juga penyebabnya. Perasaan itu muncul begitu saja dalam dirinya, tanpa sebab. Dan itulah perasaan yang paling mengganggu.

Tidak seperti prajurit bayaran lainnya, Merk hanya mau menerima pekerjaan untuk membunuh seseorang yang memang pantas dibunuh. Namun di kemudian hari, ketika ia telah menjadi sangat ahli, saat bayaran yang ia terima telah sedemikian besar, dan orang-orang yang menyewanya adalah orang-orang penting, maka prinsipnya itu mulai kabur; ia mau diupah untuk membunuh orang-orang yang tak semestinya dibunuh, bahkan tak perlu dibunuh sama sekali. Dan itulah yang membuatnya merasa tak enak hati.

Mark begitu ingin dapat membatalkan semua pembunuhan yang pernah ia lakukan, untuk membuktikan pada orang bahwa dirinya dapat berubah. Ia ingin menghapus masa lalunya, untuk mengembalikan apa yang telah dilakukannya, untuk menebus dosanya. Ia telah bersumpah pada diri sendiri bahwa ia tak akan pernah membunuh lagi; ia tak akan mau diupah untuk membunuh lagi; ia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk memohon ampun pada Sang Kuasa; ia akan mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain; ia bersumpah akan menjadi seseorang yang lebih baik. Dan semua sumpahnya itulah yang membawanya ke jalan setapak di dalam hutan yang tengah ia susuri dengan tongkatnya ini.

Merk melihat jalan setapak itu menanjak di depannya lantas menurun curam, berseri oleh dedaunan putih, dan ia memandang lagi ke kaki langit untuk mencari di mana Menara Ur. Namun belum juga ia menemukan tanda-tanda keberadaannya. Ia tahu bahwa jalan ini akhirnya akan sampai ke menara itu; inilah perjalanan batin yang telah memanggilnya berbulan-bulan yang lalu. Sejak kecil ia begitu terpesona oleh kisah tentang Sang Penjaga, ordo rahasia para pertapa/ksatria, separuh manusia dan separuh makhluk lain, yang bertugas menghuni dua buah menara—yaitu Menara Ur di barat laut dan Menara Kos di tenggara—dan mengawasi pusaka keramat Kerajaan: Pedang Api. Legenda membuktikan bahwa Pedang Api adalah pusaka yang menjaga Benteng Api tetap bertahan. Tak ada yang tahu pasti di menara mana pedang itu tersimpan; itu adalah sebuah rahasia yang tersimpan rapat yang hanya diketahui oleh Sang Penjaga pertama. Jika pedang itu sampai dipindahkan atau dicuri, maka Benteng Api akan musnah selamanya—dan Escalon akan sangat mudah diserang.

Konon menjadi penjaga menara adalah sebuah panggilan mulia, sebuah tugas suci dan tugas kehormatan—tentu saja jika Sang Penjaga menerimamu. Merk selalu bercita-cita menjadi Sang Penjaga sejak ia kecil; tiap malam menjelang tidur, ia selalu membayangkan seperti apa rasanya bergabung dengan Sang Penjaga. Ia ingin meleburkan diri dalam kesendirian, dalam pengabdian, dalam perenungan diri, dan ia tahu bahwa tak ada cara yang lebih baik selain menjadi Sang Penjaga. Merk telah merasakannya. Ia telah mengganti baju zirahnya dengan mantel kulit, mengganti pedang dengan tongkat, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, telah sebulan penuh ia jalani tanpa membunuh atau melukai seseorang. Ia mulai merasa lebih baik.

 

Ketika berjalan mendaki sebuah bukit kecil, Merk memandang ke sekeliling dengan penuh harapan seperti yang telah dilakukannya selama beberapa hari ini, berharap siapa tahu dari puncak bukit ini ia bisa menemukan di mana letak Menara Ur. Namun ia tak melihatnya di mana pun—yang ia lihat hanyalah hamparan hutan, yang membentang sejauh matanya memandang. Toh ia tahu bahwa ia sudah semakin dekat dengan menara itu—setelah perjalanan berhari-hari, menara itu pasti tak jauh lagi letaknya.

Merk kembali berjalan menuruni jalan setapak yang menurun; hutan semakin lebat, dan tatkala sampai di kaki bukit, ia melihat sebuah pohon yang besar tumbang menghalangi jalannya. Ia berhenti dan mengamati pohon itu, mengagumi ukurannya dan berpikir bagaimana cara memutar untuk melewatinya.

"Menurutku jaraknya jauh sekali," bisik sebuah suara jahat di telinganya.

Mark segera mengenali maksud jahat dari suara yang didengarnya itu, sesuatu yang sangat ia pahami, dan ia bahkan tak perlu memalingkan wajahnya untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia mendengar daun-daun bergemerisik di sekelilingnya, dan dari dalam hutan muncullah wajah-wajah empunya suara tadi: para pembunuh keji, masing-masing dengan wajah yang sangat mengerikan. Mereka adalah orang-orang yang sanggup membunuh tanpa alasan. Itulah wajah-wajah begal dan pembunuh yang memburu orang-orang lemah secara acak, dengan kekejaman yang tak berperikemanusiaan. Bagi Merk, mereka adalah golongan manusia paling nista.

Merk sadar bahwa ia telah terkepung dan ia telah memasuki perangkap. Ia memandang sekilas ke sekeliling tanpa mereka menyadarinya; naluri lamanya bangkit dan ia menghitung bahwa mereka semua berdelapan jumlahnya. Mereka semua memegang belati, semuanya mengenakan baju dari kain-kain bekas, dengan wajah, tangan dan kuku yang kotor, tak satu pun dari mereka yang bercukur, dan semuanya tampak nekat, yang menunjukkan bahwa mereka belum makan selama berhari-hari lamanya. Dan mereka semua merasa jemu.

Mark merasa tegang saat pimpinan begal itu mendekat, namun bukan lantaran ia takut pada mereka; jika boleh memilih, Mark sanggup membunuh mereka, semuanya, tanpa kesulitan berarti. Yang membuatnya tegang adalah karena ia dipaksa melakukan kekerasan. Ia telah bertekad untuk menaati sumpahnya, apa pun risikonya.

"Lihat, apa yang kita dapatkan di sini?" salah satu dari mereka bertanya pada yang lain, lalu mendekat dan berjalan mengitari Merk.

"Sepertinya ia seorang pertapa," sahut yang lain dengan suara mengolok. "Tapi sepatunya itu bukan sepatu pertapa."

"Mungkin ia adalah seorang pertapa yang menganggap dirinya seorang prajurit," seorang dari mereka berkata sambil terbahak.

Tawa mereka pecah, dan salah satu dari mereka -seorang pria tolol berusia empat puluhan dengan gigi depan yang ompong- membungkuk ke arah Merk dengan nafasnya yang bau, lalu menepuk-nepuk pundak Merk. Dulu, Merk pasti sudah membunuh seseorang yang berani maju sedekat itu dengannya.

Namun Merk yang sekarang telah bertekad menjadi seorang manusia yang lebih baik, demi mengalahkan kekerasan—bahkan jika kekerasan itu mengancam dirinya. Merk memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, menahan dirinya agar tetap tenang.

Jangan menggunakan kekerasan, katanya pada diri sendiri berulang-ulang.

"Sedang apa pertapa ini?" salah satu dari mereka bertanya. "Berdoa?"

dan meledaklah lagi tawa mereka.

"Tuhanmu tak akan menyelamatkanmu kali ini, nak!" seru yang lain.

Merk membuka matanya dan menatap tajam pada pria tolol itu.

"Aku tak ingin melukai kalian," kata Merk tenang.

Tawa mereka pun makin kencang dari sebelumnya, dan Merk sadar bahwa dengan tetap tenang, tidak menanggapi dengan kekerasan, adalah hal paling sulit yang pernah dilakukannya.

"Beruntunglah kami ini!" balas salah seorang dari mereka.

Mereka tertawa lagi, lalu tiba-tiba mereka diam saat pemimpin kawanan ini maju dan berhadapan dengan muka Merk.

"Tapi mungkin, kami ingin mencelakaimu," katanya dengan nada serius, dekat sekali dengan wajah Merk sehingga ia bisa mencium bau busuk nafas pria itu.

Seorang dari berdiri di belakang Merk, menyilangkan lengannya yang besar ke tenggorokan Merk dan mencekiknya. Merk megap-megap karena tercekik; cekikan itu cukup kuat untuk menyakitinya, namun tak sampai menghentikan nafasnya. Naluri alamiahnya adalah mencengkeram pria itu lalu membunuhnya. Mudah sekali; ia tahu benar titik di lengan yang harus ditekan agar cekikan itu terlepas. Namun ia menahan diri untuk tidak melakukannya.

Biarkan saja, katanya dalam hati. Inilah permulaan dari kerendahan hati.

Merk memandang pemimpin begal itu.

"Ambillah milikku semau kalian," kata Merk dengan nafas megap-megap. "Ambillah, dan pergilah."

"Bagaimana jika kami mengambilnya dan kami tetap di sini?" balas pemimpin itu.

"Tidak ada yang menanyaimu tentang apa yang bisa dan tidak bisa kami ambil, nak," kata yang lain.

Salah satu dari mereka maju dan menggeledah lengan baju Merk, tangannya mengaduk-aduk kantong berisi barang-barang kepunyaannya yang terakhir di dunia ini. Merk menahan diri sekuat tenaga untuk tetap tenang saat tangan orang itu menggeledah segala barang miliknya. Akhirnya, mereka menemukan belati perak tua, senjata kesukaanya, dan Merk yang masih kesakitan tetap berusaha tidak bereaksi.

Biarkan saja, katanya dalam hati.

"Apa ini?" tanya salah satu dari mereka. "Sebuah belati?"

ia menatap Merk.

"Mengapa seorang pertapa sepertimu membawa sebuah belati?" tanya seorang dari begal-begal itu.

"Apa yang kau lakukan, nak? memahat pohon?" tanya yang lain.

Mereka semua tertawa, dan gigi Merk bergemeretak membayangkan seberapa lama lagi ia mampu menahan diri.

Orang yang mengambil belati itu berhenti, memandang pergelangan tangan Merk dan menyibakkan lengan bajunya. Merk menahan diri, ia tahu bahwa mereka akan melihatnya.

"Apa ini?" begal itu bertanya, menarik lengan Merk dan mengangkatnya, lalu mengamatinya.

"Sepertinya seekor rubah," kata yang lain.

"Mengapa seorang pertapa memiliki tato rubah?" tanya seorang dari mereka.

Lalu seorang yang lain lagi maju; badannya tinggi kurus, dengan rambut kemerahan, lalu merengkuh pergelangan tangan Merk dan mengamatinya dengan saksama. Kemudia ia melepaskannya dan memandang Merk dengan mata penuh curiga.

"Ini bukan rubah, tolol," katanya pada kawannya. "Ini tato serigala. Ini adalah lambang pasukan Sang Raja—seorang prajurit bayaran."

Merk merasa wajahnya merona saat melihat mereka menatap tato itu. Ia tak ingin jati dirinya terkuak.

Semua begal ini masih terdiam, menatap tato di pergelangan tangannya, dan baru kali ini Merk melihat keraguan tersirat di wajah mereka.

"Itu adalah sebutan untuk ordo pembunuh," kata salah seorang dari mereka lalu menatapnya lagi. "Bagaimana kau mendapatkan tato ini?"

"Mungkin ia sendiri yang membuatnya," jawab yang lain. "Agar selamat di perjalanan."

Pemimpin begal itu mengangguk pada anak buahnya agar melepaskan cekikan di leher Merk, lalu Merk dapat bernafas panjang dengan lega. Namun si pemimpin itu lantas menarik dan menempelkan sebuah pisau di tenggorokan Merk, dan Merk membayangkan apakah mungkin ia akan mati di sini, hari ini, di tempat ini. Ia membayangkan bahwa mungkin ini adalah hukuman atas semua nyawa yang pernah ia bunuh. Ia bertanya-tanya apakah ia telah siap mati.