Za darmo

Bangkitnya Para Naga

Tekst
Z serii: Raja dan Penyihir #1
0
Recenzje
Oznacz jako przeczytane
Czcionka:Mniejsze АаWiększe Aa

BAB SEMBILAN BELAS

Merk terus berjalan menyusuri jalan setapak itu, dan ia semakin jauh masuk ke dalam Hutan Akasia, setengah hari perjalanan jauhnya dari tempat para begal yang tak bernyawa itu tergeletak. Ia belum berhenti berjalan sedari tadi, masih mencoba menenangkan pikirannya dari kejadian itu, kembali ke kedamaian yang pernah melingkupinya. Dan itu tak mudah. Kakinya semakin letih, dan Merk semakin penasaran ingin menemukan letak Menara Ur, untuk memulai lembaran hidupnya yang baru sebagai Sang Penjaga; matanya mencari-cari di kaki langit, mencoba menemukan sekilas bayangan menara itu lewat sela-sela pepohonan.

Namun belum juga ia menemukan tanda-tanda keberadaannya. Perjalanan ini mulai terasa bagai sebuah peziarahan yang tak kunjung berakhir. Menara Ur ternyata lebih jauh dan lebih tersembunyi dari yang ia bayangkan.

Pertemuan dengan para begal itu telah membangkitkan sesuatu di dalam dirinya, membuat Merk sadar betapa sulitnya mengubur jati dirinya yang lama. Ia tak tahu apakah ia mampu melakukannya. Ia hanya berharap Sang Penjaga bersedia menerima dirinya bergabung dengan mereka; jika tidak, maka karena ia tak punya tempat lain untuk dituju, ia niscaya akan kembali menjalani kehidupannya yang lama.

Di depan sana, Merk melihat bentangan hutan itu berubah, ia melihat segerombol pepohonan putih yang tua, dengan batang sebesar sepuluh tubuh pria, menjulang tinggi ke atas dengan cabang-cabang yang mencuat bagai sebuah sengkuap yang berkilauan oleh daun-daunnya yang berwarna merah. Dengan kaki yang telah lelah, salah satu pohon dengan batang besarnya yang melengkung terlihat seolah melambai-lambai memanggil Merk untuk duduk berteduh di bawahnya, Ia bersandar di situ dan segera saja merasa lega, nyeri di punggung dan kakinya setelah berjalan berjam-jam lamanya pun mulai reda. Dilepaskannya sepatu bot dan ia merasakan sakit di kakinya, lantas ia menghela nafas seiring angin semilir yang sepoi-sepoi, ditingkahi gemerisik dedaunan di atas kepalanya.

Merk merogoh sakunya dan mengeluarkan sekerat daging kering yang tersisa dari kelinci yang ia tangkap malam yang lalu. Ia menggigit dan mengunyahnya perlahan, memejamkan mata, beristirahat, membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya kelak. Duduk bersandar pada batang pohon, di bawah daun-daun yang gemerisik terasa cukup nikmat baginya.

Mata Merk terasa berat dan ia memejamkannya barang sesaat, ia perlu beristirahat.

Ketika membuka lagi matanya, Merk terkejut melihat langit telah gelap dan rupanya ia telah tertidur. Senja telah tiba, dan ia tahu bahwa ia akan tertidur semalaman jika saja sebuah suara tak membangunkannya.

Merk duduk lalu memerhatikan keadaan dengan saksama, dan nalurinya membuat ia waspada seketika itu juga. Dipegangnya pangkal belatinya, lalu ia selipkan di pinggang dan menunggu. Ia tak ingin melakukan kekerasan—namun sebelum ia menemukan Menara itu, ia mulai merasa bahwa segala sesuatu dapat terjadi.

Gemerisik dedaunan semakin kencang, dan ia seperti mendengar seseorang tengah berlari menembus hutan. Merk bertanya-tanya: apa yang dilakukan orang itu di sini, di tempat antah-berantah, saat senja pula? Dari suara dedaunan yang bergesekan, Merk tahu bahwa orang itu hanya seorang diri dan tubuhnya kecil. Mungkin seorang anak, atau seorang gadis.

Dan benar saja, sesaat kemudian ia melihat seorang gadis muncul dari dalam hutan, berlari sambil menangis. Ia mengamati gadis itu dengan terkejut, karena gadis itu berlari sendirian, tersandung lalu terjatuh tak jauh dari tempat Merk duduk. Gadis itu jatuh terjerembab ke tanah. Parasnya cantik, umurnya mungkin delapan belas tahun, namun tampak kusut, dengan rambutnya yang kumal oleh tanah dan dedaunan yang menempel, bajunya compang-camping dan koyak.

Merk berdiri; dan tatkala gadis itu tengah berusaha susah payah untuk bangkit lagi, ia melihat Merk dan matanya pun terbelalak ketakutan.

"Kumohon, jangan sakiti aku!" jeritnya sambil berdiri dan melangkah mundur.

Merk mengangkat tangannya.

"Aku tak ingin menyakitimu," katanya perlahan setelah Merk bangkit berdiri. "Sebenarnya, aku baru saja hendak pergi."

Gadis itu mundur beberapa langkah jauhnya sambil ketakutan setengah mati, dan Merk tak bisa berbuat apa-apa selain menduga-duga apa yang tengah terjadi. Apa pun itu, Merk tak ingin ikut campur—ia sendiri punya banyak masalah.

Merk berbalik menuju ke jalan setapak itu dan mulai melangkah, tatkala gadis itu berteriak memanggilnya:

"Tidak, tunggu!"

Merk berpaling dan melihat gadis itu berdiri dengan tatapan putus asa.

"Kumohon. Aku butuh bantuanmu," pinta gadis itu.

Merk memandangnya dan melihat kecantikan yang tersembunyi di balik tampilannya yang lusuh, dengan rambut pirang yang tak rapi, mata biru terang dan paras sempurna, dengan leleran air mata dan tanah di seluruh wajahnya. Gadis itu mengenakan pakaian petani yang amat sederhana, dan dari situ tersirat bahwa ia bukanlah seorang gadis yang berpunya. Ia terlihat baru saja berlari untuk waktu yang lama.

Merk menggeleng.

"Kau tak punya uang untuk mengupahku," kata Merk. "Aku tak bisa membantumu, apa pun yang kau butuhkan. Lagipula, aku hendak melanjutkan perjalanan untuk mencapai tujuanku sendiri."

"Kau tak mengerti," pinta gadis itu sembari mendekat. "Keluargaku—rumah kami diserang pagi ini. Para prajurit bayaran yang melakukannya. Ayahku terluka. Ayah mengusir mereka, namun mereka akan kembali lagi—dan dengan lebih banyak bala bantuan—mereka akan membunuhnya, membantai seluruh keluargaku. Mereka berkata akan membakar habis ladang kami. Kumohon!" pintanya, sembari melangkah semakin dekat lagi. "Akan kuberikan apa pun. Apa pun!”

Merk hanya berdiri di situ, ia turut merasa sedih namun telah bertekad untuk tidak ikut campur.

"Ada banyak masalah di dunia ini, nona," katanya. "Dan aku tak sanggup mengatasi semuanya."

Ia kembali berbalik hendak berjalan pergi tatkala suara gadis itu memanggilnya lagi:

"Kumohon!" teriaknya. "Ini adalah sebuah firasat, tidakkah kau mengerti? Aku berlari menghampirimu, di tempat antah berantah ini? Aku tak menduga akan bertemu dengan siapa pun—namun aku bertemu denganmu. Kau memang ditakdirkan berada di sini, kau ditakdirkan untuk membantuku. Yang Kuasa memberimu kesempatan untuk menebus dosamu. Tidakkah kau percaya akan firasat?"

Merk masih berdiri dan memandang gadis itu menangis tersedu-sedu, dan ia pun merasa bersalah; namun lebih dari itu, ia merasa luluh lantak. Satu sisi dalam dirinya teringat akan betapa banyak nyawa yang telah ia cabut seumur hidupnya, dan kini ia bertanya-tanya: haruskah ada lebih banyak nyawa melayang di tangannya? Namun memang akan selalu ada lebih banyak nyawa melayang. Tampaknya semua ini takkan berkesudahan. Ia harus menetapkan batasnya.

"Maafkan aku, nona," ujarnya. "Namun aku bukanlah juru selamat bagimu."

Merk berpaling lagi dan kini ia mulai melangkah, dan kali ini ia telah bertekad untuk tidak berhenti lagi, ia sengaja menjejakkan langkahnya kuat-kuat pada dedaunan yang gugur di tanah, agar gemerisiknya menelan tangis dan ratapan gadis itu.

Namun seberapa pun kuatnya ia menginjak dedaunan itu, tangis gadis itu tak terhenti, terus terngiang di telinganya, dan memanggil-manggil dirinya. Ia lantas berbalik dan memandangi gadis itu berlari, menghilang di tengah hutan, dan Merk berharap ia dapat merasa sedikit lebih lega. Namun ternyata, ia merasa terus dihantui perasaannya—dihantui oleh suara tangisan yang ia abaikan itu.

Ia terus menyumpah-nyumpah sepanjang jalan, ia geram, dan berharap tak pernah bertemu dengan gadis itu. Mengapa ini harus terjadi? ia tak habis pikir. Mengapa harus terjadi pada dirinya?

Pertanyaan itu terus menggelayut di benaknya, seakan takkan lepas darinya, dan Merk benci akan perasaan semacam itu. Seperti inikah rasanya mendengarkan suara hati nuraninya? Merk masih tak mengerti.

BAB DUA PULUH

Jantung Kyra berdegup saa ia berjalan beriringan dengan ayah dan kakak-kakaknya, Anvin, serta seluruh prajurit lainnya; mereka semua berbaris dengan gagah menyusuri jalanan Volis, semuanya tengah bersiap untuk berperang. Keheningan menyelimuti, langit kelabu, salju tipis turun lagi tatkala sepatu bot mereka menjejak tanah bersalju, menuju ke gerbang utama benteng. Terompet dibunyikan berulang kali, dan ayahnya memimpin pasukan itu dengan mantap, membuat Kyra heran betapa ayahnya bisa tetap setenang itu, seolah ia telah ribuan kali menghadapi situasi semacam ini.

Kyra memandang lurus ke depan, dan dari sela-sela jeruji besi pada pintu gerbang benteng yang telah diturunkan, sekilas ia melihat sosok Tuan Gubernur tengah memimpin pasukannya, seribu orang banyaknya, semua mengenakan baju zirah merah hati, serta mengusung panji-panji kuning dan biru Pandesia yang berkibar-kibar tertiup angin. Mereka memacu kudanya dengan kencang, dalam balutan zirah terbaik dan menghunus senjata terbaik, dan semuanya menuju ke gerbang Volis. Derap langkah kuda mereka terdengar hingga tempat ini, dan Kyra merasa tanah yang dipijaknya bergetar.

Tatkala Kyra berjalan, jantungnya berdetak dengan kencang; ia menggenggam tongkatnya yang baru, busurnya yang baru tersampir di bahu, dan ia mengenakan sarung pelindung lengan yang baru pula—dan ia merasa bagaikan telah terlahir kembali. Akhirnya, ia merasa menjadi seorang prajurit yang sejati, dengan senjata yang sesungguhnya. Ia merasa senang memiliki semua itu.

Sepanjang perjalanan itu, Kyra bangga melihat semua orang berjalan tanpa kenal rasa takut, semua orang bergabung untuk menghadapi musuh. Ia melihat seluruh penduduk desa memandang ayahnya dan para pemuda mereka dengan penuh harapan, dan ia merasa mendapatkan kehormatan untuk dapat berjalan bersama dengan mereka. Mereka semua tampak sangat menaruh kepercayaan yang besar pada ayahnya, dan ia yakin bahwa jika bukan ayahnyalah yang memimpin pasukan itu, maka para penduduk desa takkan dapat tetap setenang seperti saat itu.

 

Para Pasukan Pengawal semakin dekat, dan terompet ditiup sekali lagi; jantung Kyra berdegup kencang.

"Apa pun yang akan terjadi," kata Anvin dengan lirih seraya berjalan di sampingnya, "seberapa dekat pun jarak mereka, jangan bertindak sedikit pun tanpa perintah ayahmu. Sekarang ia adalah komandanmu. Aku mengatakan ini padamu bukan sebagai putrinya, namun sebagai salah satu pasukannya. Salah satu dari kami."

Kyra mengangguk, ia merasa tersanjung.

"Aku tak ingin menjadi penyebab kematian rakyat kita," kata Kyra.

"Jangan khawatir," tukas Arthfael yang menyusul berjalan di sebelahnya. "Hari ini telah lama dinanti-nantikan. Bukan dirimu yang memulai perang ini—melainkan merekalah yang memulainya, tepat ketika mereka melintasi Gerbang Selatan dan masuk ke Escalon."

Kyra merasa mantap, ia menggenggam tongkatnya lebih erat, siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Siapa tahu Tuan Gubernur akan bertindak bijaksana. Siapa tahu ia akan menawarkan perdamaian?

Kyra dan seluruh pasukan itu tiba di gerbang benteng, lalu mereka semua berhenti dan memandang ayahnya.

Ayahnya berdiri di sana, menatap jauh ke depan dengan raut muka datar dan tegas; ia tengah bersiaga. Lantas ia memandang anak buahnya.

"Kita tak boleh bersembunyi di balik gerbang besi karena takut pada musuh, namun kita harus menghadapi mereka di luar gerbang, seperti layaknya laki-laki sejati," serunya. "Buka gerbangnya!" perintah ayahnya.

Suara bergemuruh pun terdengar saat para prajurit membuka pintu gerbang besi yang berat itu. Akhirnya pintu itu pun berdebam dan terbuka sepenuhnya, lalu Kyra bersama seluruh pasukan pun melintasinya.

Mereka menyeberangi jembatan kayu yang lengang seiring gema derap sepatu mereka; setelah menyeberangi parit itu, mereka semua berhenti di seberangnya dan menunggu.

Bunyi bergemuruh terdengar saat para Pasukan Pengawal tiba dan berhenti hanya beberapa kaki jauhnya dari mereka. Kyra berdiri tak jauh di belakang ayahnya, berbaris bersama para prajurit lain dan ia merangsek hingga ke barisan terdepan, agar ia bisa berdiri di sisi ayahnya—dan agar ia bisa menatap wajah Tuan Gubernur dan berhadapan langsung dengannya.

Kyra melihat Tuan Gubernur itu, seorang pria paruh baya, dengan kepala yang mulai botak dan menyisakan beberapa helai uban, serta perutnya yang membuncit; ia duduk dengan pongah di atas kudanya beberapa puluh kaki jauhnya dari Kyra, sembari menatap seluruh pasukan itu seolah dirinya terlalu hina untuk menghadapi mereka. Seratus pasukannya duduk di atas kuda-kuda mereka di belakang Tuan Gubernur, semuanya memasang raut muka yang bersungguh-sungguh dan mereka semua membawa senjata lengkap. Kyra tahu bahwa seluruh pasukan itu telah siap untuk berperang dan siap untuk mati.

Kyra amat bangga melihat ayahnya berdiri di hadapan seluruh pasukan itu, bergeming dan tak takut sedikit pun. Wajahnya memancarkan wibawa seorang komandan di medan perang, wibawa yang belum pernah Kyra lihat sebelumnya. Raut muka itu bukanlah raut muka ayahnya yang ia kenal, namun raut muka seorang komandan di depan seluruh anak buahnya.

Keheningan yang panjang dan menegangkan menyelimuti mereka semua, ditingkahi desau angin yang bertiup. Tuan Gubernur masih belum berucap sepatah kata pun, ia mengamati seluruh pasukan ayahnya semenit penuh; jelas ia tengah berupaya membuat gentar pasukan itu, dan memaksa mereka untuk memandang dan mengagumi kuda-kuda serta persenjataan dan baju zirah para Pasukan Pengawal. Keheningan terus berlanjut hingga Kyra bertanya-tanya akankah ada seseorang yang memecahkannya, dan ia mulai menyadari bahwa sikap diam ayahnya, sambutannya yang tanpa kata-kata, dingin, sembari berdiri bersama seluruh anak buahnya, sesungguhnya adalah sebentuk tantangan bagi Tuan Gubernur. Dan ia senang melihat ayahnya melakukan itu semua. Ayahnya bukanlah seseorang yang sudi menyerah pada musuhnya, apa pun taruhannya.

Hanya Leo yang bersuara, menggeram lirih pada para Pasukan Pengawal.

Akhirnya, Tuan Gubernur berdehem dan menatap ayahnya.

"Lima orang anak buahku mati," ujarnya dengan suara sengau. Ia masih duduk di atas kudanya, bukannya turun agar mereka berdua berdiri sejajar. "Putrimu telah melanggar hukum suci Pandesia. Kau mengerti akibatnya: berani macam-macam dengan Pasukan Pengawal berarti siap menerima kematian yang menyakitkan."

Ayahnya diam saja, tak menanggapi celotehan itu. Seiring salju turun dan angin berembus, hanya suara kelepak panji-panji Pandesia yang terdengar. Kedua belah pasukan yang sama banyak jumlahnya itu saling memandang dalam kebisuan yang menegangkan.

Lalu Tuan Gubernur melanjutkan bicaranya.

"Karena aku adalah Gubernur yang pengampun, aku takkan menghukum putrimu," katanya. "Aku pun takkan membunuhmu dan pasukanmu serta seluruh rakyatmu, meskipun aku berhak melakukannya. Sesungguhnya, aku ingin melupakan saja semua masalah ini."

Suasana kembali hening saat Tuan Gubernur memandangi wajah seluruh pasukan ayahnya dengan perlahan, lalu tatapannya terhenti pada Kyra. Kyra merasakan ketakutan yang mencekam saat tatapan tamak dan tak senonoh Gubernur itu mengarah padanya.

"Sebagai gantinya, aku akan mengambil putrimu, karena itu adalah hakku. Ia belum menikah, dan usianya telah cukup; dan seperti yang telah kau ketahui, hukum Pandesia mengizinkanku melakukannya. Putrimu—dan seluruh putri rakyatmu—kini akan menjadi milikku."

Ia menyeringai pada ayahnya.

"Anggaplah dirimu beruntung karena aku tidak menjatuhkan hukuman yang lebih kejam," pungkasnya.

Tuan Gubernur berpaling lalu mengangguk memberi isyarat kepada anak buahnya, dan dua orang prajuritnya yang bertampang garang turun dari kudanya, lalu menyeberangi jembatan, hentakan sepatu bot dan gemerincing taji di tumit sepatu mereka bergema di sekujur kayu jembatan saat mereka melangkah melintasinya.

Jantung Kyra berdegup kencang demi melihat kedua prajurit itu menghampirinya; ia ingin berbuat sesuatu, meraih busurnya lalu melepaskan anak panah, atau mengayunkan tongkatnya. Namun ia teringat akan kata-kata Anvin agar ia menunggu perintah dari ayahnya, tentang betapa seorang prajurit harus berlaku patuh, dan betapa pun sulitnya hal itu, Kyra memaksa untuk menahan dirinya.

Saat mereka semakin dekat, Kyra bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh ayahnya. Akankah ayahnya membiarkan dirinya dibawa oleh para prajurit itu? Ataukah ayahnya akan melawan mereka? Tak peduli mereka akan menang atau kalah dalam pertempuran, tak peduli apakah para Pasukan Pengawal akan membawanya atau tidak, tak jadi soal bagi Kyra—yang paling penting baginya adalah apakah ayahnya akan membelanya.

Meskipun kedua prajurit itu kian mendekat, namun ayahnya belum juga berbuat sesuatu. Nafas Kyra tercekat. Ia merasakan kekecewaan dalam dirinya, karena menyadari bahwa ayahnya akan membiarkan mereka membawa dirinya. Dan kekecewaan itu membuatnya serasa ingin menangis.

Leo menggeram dengan marah, berdiri di depan Kyra dengan bulu-bulu yang tegak berdiri; namun kedua prajurit itu tak juga menghentikan langkahnya. Kyra yakin bahwa andai ia memerintahkan Leo untuk menerkam mereka, maka Leo pasti akan melakukannya; namun Kyra tak ingin Leo terluka oleh senjata kedua prajurit itu, dan ia tak ingin melanggar perintah ayahnya dan memicu pecahnya pertempuran.

Kedua prajurit itu tinggal beberapa langkah lagi jauhnya dari Kyra, tatkala sekonyong-konyong ayahnya mengangguk pada anak buahnya, dan enam orang prajurit pun maju, menyilangkan tombak bermata kapak di genggaman mereka untuk menghalangi langkah kedua prajurit itu; Kyra pun lega melihatnya.

Kedua prajurit Tuan Gubernur seketika berhenti, baju zirah mereka berdenting beradu dengan mata kapak, dan mereka berdua memandang ayahnya dengan raut muka terkejut karena sama sekali tak menduga hal itu.

"Hentikan langkah kalian," kata ayahnya. Suara ayahnya terdengar tegas dan dalam, suara yang takkan berani dibantah oleh siapa pun. Suaranya mencerminkan wibawanya—alih-alih mencerminkan suara seorang budak.

Saat itu juga Kyra merasa sangat mencintai ayahnya, jauh lebih besar dari sebelumnya.

Ayahnya berpaling dan memandang Tuan Gubernur.

"Kami semua, pria dan wanita, tua dan muda, adalah orang-orang merdeka," kata ayahnya. "Maka pilihan ada di tangannya. Kyra, apakah kau bersedia dibawa oleh kedua orang ini?" kata ayahnya sembari berpaling padanya.

Kyra balas menatap ayahnya dengan senyum yang tertahan.

"Tidak," jawab Kyra mantap.

Ayahnya berpaling lagi pada Tuan Gubernur.

"Kau telah mendengar sendiri jawabannya," ujar ayahnya. "Pilihan ada di tangannya. Bukan di tanganmu, dan bukan di tanganmu. Jika kau mau tanah atau emas sebagai pengganti kerugianmu, maka kau akan mendapatkannya," kata ayahnya pada Tuan Gubernur. "Namun kau takkan dapat memiliki putriku—atau putri rakyat kami—tak peduli apa yang dikatakan oleh hukum Pandesia."

Tuan Gubernur memandang ayahnya dengan marah, dengan raut muka terkejut, karena ia tak pernah mendapatkan jawaban seperti itu, dan ia tak pernah dibantah semacam itu. Ia tampak tak tahu apa yang harus dilakukannya. Jelas sekali bahwa ia tak menduga akan mendapatkan jawaban semacam itu.

"Berani-beraninya kau menghalangi anak buahku?" tanya Tuan Gubernur. "Berani-beraninya kau menolak tawaranku?"

"Itu sama sekali bukan sebuah tawaran," balas Duncan.

"Pikirkanlah matang-matang, budak," cemooh Tuan Gubernur. "Aku takkan menawarkan dua kali. Jika kau menolakku, maka kau akan mati—kau dan seluruh rakyatmu. Kau pastinya tahu bahwa aku tak sendirrian—aku berbicara atas nama seluruh pasukan Pandesia yang tak terhitung jumlahnya. Apakah menurutmu kau sanggup menghadapi Pandesia—sedangkan Rajamu pun telah menyerah? Meskipun kau tahu kau takkan bisa menang melawan Pandesia?"

Ayahnya mengangkat bahu.

"Aku tidak bertempur demi kesempatan untuk menang," jawabnya. "Aku bertempur demi suatu alasan. Banyaknya pasukanmu tak ada artinya bagiku. Yang paling penting adalah kemerdekaan kami. Kau mungkin akan menang—namun kau takkan pernah dapat menguasai jiwa-jiwa kami."

Muka Tuan Gubernur merah padam.

"Jika nanti kau mendengar jerit tangis seluruh wanita dan anak-anak dari bangsamu, ingatlah akan keputusan yang kau buat hari ini," kata Tuan Gubernur.

Tuan Gubernur berpaling lalu menyepak kudanya, lantas memacunya dengan cepat, diikuti oleh beberapa pengawalnya, kembali ke jalan yang dilaluinya tadi, ke sisi desa yang berselimut salju.

Para pasukannya bersiaga di belakang, dan komandan mereka mengangkat tinggi-tinggi panji-panji Pandesia lalu meneriakkan perintahnya: "MAJUUU!"

Seluruh Pasukan Pengawal turun dari kuda mereka, berbaris berjajar dan bergerak maju serentak, melintasi jembatan dan menuju tepat ke arah mereka.

Dengan jantung berdegup, Kyra berpaling dan memandang ayahnya, begitu pula seluruh pasukan yang lain, menunggu perintah ayahnya—dan seketika itu pula ayahnya mengepalkan tangannya ke udara, dan dengan sebuah teriakan lantang, diturunkannya kepalan tangan itu memberi aba-aba bagi anak buahnya.

Sekonyong-konyong langit dihujani oleh anak panah. Kyra memandang ke belakang dan melihat beberapa pemanah anak buah ayahnya membidik dan melepaskan anak panah dari balik dinding benteng yang bermenara Bunyi anak panah meluncur berdesingan di telinganya dan ia melihat satu persatu anak panah itu mengenai para Pasukan Pengawal.

Pekikan demi pekikan terdengar saat beberapa Pasukan Pengawal roboh tak bernyawa di sekelilingnya. Itulah pertama kalinya ia melihat dari dekat begitu banyak orang tewas, dan pemandangan itu membuatnya tertegun.

Pada saat yang sama, ayahnya menghunus sebilah pedang pendek dari kedua sisi pinggangnya; ia menyerang maju dan menusuk kedua orang prajurit itu, lantas satu persatu mereka tumbang di dekat kaki ayahnya, nyawanya melayang.

Seketika itu juga, Anvin, Vidar dan Arthfael mengangkat tombaknya dan melentingkannya, dan ketiga tombak itu mengenai tiga prajurit yang tengah berusaha menyeberangi jembatan. Brandon dan Braxton maju dan melemparkan tombaknya juga; salah satu tombak itu menggores lengan seorang lawan dan tombak yang lain menggores kaki lawan yang lain; setidaknya tombak itu berhasil melukai dua lawan mereka.

 

Para prajurit lain pun maju menyerang, dan Kyra yang tergerak melihat hal itu pun menyelipkan tongkatnya lalu mengambil busurnya yang baru, memasang sebuah anak panah dan meluncurkannya. Ia mengincar sang komandan musuh yang tengah memimpin anak buahnya menyerang dari atas kuda mereka, dan ia memandang puas saat anak panah itu melesat di udara dan bersarang tepat di dada sang komandan. Itu adalah bidikan pertamanya dengan busur yang baru, dan kali pertama ia membunuh lawan di medan pertempuran—dan tatkala sang komandan itu jatuh ke tanah, Kyra melihatnya dengan tatapan tertegun atas apa yang baru saja diperbuatnya.

Lantas, selusin Pasukan Pengawal pun mengangkat busur mereka dan balas melepaskan anak panahnya, dan Kyra memandang ngeri saat puluhan anak panah berdesing di udara, melesat dari sisi musuh—beberapa anak buah ayahnya memekik, terluka, dan berjatuhan di sekelilingnya.

"DEMI ESCALON!" teriak ayahnya.

Ia menghunus pedangnya dan memimpin serangan melintasi jembatan, langsung merangsek ke arah barisan Pasukan Pengawal. Anak buahnya mengikuti dari belakang, dan Kyra pun menghunus tongkatnya lalu bersatu dalam serangan itu; ia berlari penuh semangat ke tengah pertempuran dan ia ingin bertempur di sisi ayahnya.

Saat mereka menyerbu, para Pasukan Pengawal menyiapkan panah mereka dan melesatkannya sekali lagi—dan segera saja barisan anak panah menhunjam ke arahnya.

Namun yang membuat Kyra terkejut, seluruh anak buah ayahnya mengangkat perisai mereka dan berlindung dengan berjongkok di baliknya dengan serentak. Kyra pun berjongkok di belakang salah satu prajurit itu, dan ia mendengar bunyi hentakan saat panah-panah yang mematikan itu menancap pada muka perisai.

Kemudian mereka semua segera bangkit dan menyerang kembali; saat itulah Kyra memahami taktik ayahnya—yaitu bergerak sedekat mungkin dengan para Pasukan Pengawal agar serangan anak panah mereka tak berarti lagi. Dalam sekejap mereka telah sampai di depan barisan pasukan musuh dan segera saja terdengar bunyi besi berdenting saat seluruh prajurit mulai bertarung, pedang beradu dengan pedang, tombak bermata kapak yang tertangkis oleh perisai, dan tombak yang tertahan oleh baju zirah. Semua itu terasa begitu menakutkan namun sekaligus mengobarkan semangatnya.

Karena terkepung di jembatan itu dan tak ada lagi jalan untuk melarikan diri, para prajurit itu bertarung dengan tangan kosong, meraung, membabat dan menangkis, bunyi denting besi beradu memekakkan telinga. Leo menerjang dan menggigit kaki seorang prajurit, sementara salah satu anak buah ayahnya memekik di sampingnya dan Kyra pun menoleh, melihat prajurit itu ditusuk dengan sebilah belati, dan darah pun termuntahkan dari mulutnya.

Kyra melihat Anvin menyeruduk seorang lawan, lalu menusukkan pedang ke perut orang itu. Dilihatnya juga ayahnya menggunakan perisainya sebagai senjata, menghantamkan perisai itu dengan keras pada dua orang prajurit lawan di atas jembatan, hingga kedua orang itu terjungkal ke dalam parit. Belum pernah ia melihat ayahnya bertempur, dan baru sekarang ia tahu betapa ganas ayahnya bertarung. Lebih mengagumkan lagi saat ia melihat anak buah ayahnya berkeliling mengitari ayahnya, dan tampak jelas bahwa mereka semua telah berjuang bersama bertahun-tahun lamanya. Ada semacam ikatan persaudaraan yang membuat Kyra iri.

Anak buah ayahnya bertempur dengan sangat hebat, mereka berhasil membuat para Pasukan Pengawal terkejut karena tak menyangka akan menghadapi perlawanan sengit setaktis itu. Para Pasukan Pengawal bertempur demi Tuan Gubernur, yang justru telah lari meninggalkan mereka—sedangkan anak buah ayahnya bertempur demi tanah airnya, demi keluarga dan hidup mereka sendiri, serta segala sesuatu yang ada di sini. Hasrat mereka dan segala sesuatu yang mereka pertaruhkan, itulah yang menjadi semangat mereka.

Dengan jarak yang dekat dan terlalu sempit untuk bergerak leluasa, Kyra melihat seorang prajurit menuju ke arahnya dengan pedang yang siap menebas, dan Kyra segera meraih tongkatnya dengan kedua tangan, memutarnya lalu mengangkatnya di atas kepala sebagai penangkis. Orang itu menyerangnya dengan sebuah pedang yang panjang, dan Kyra berharap semoga besi Alkan pada tongkat buatan Brot itu mampu menahannya.

Pedang berdentang beradu dengan tongkat Kyra, seolah pedang itu membentur sebuah perisai, dan syukurlah, tongkat itu tak patah.

Kyra memutarnya dan memukul samping kepala prajurit yang menyerangnya. Prajurit itu terhuyung-huyung, lalu Kyra menendangnya hingga ia terjengkang, menjerit jatuh ke dalam parit.

Seorang lawan yang lain menyerangnya dari samping, ia mengayunkan bola berduri, dan Kyra merasa ia takkan sempat mengelak. Namun tiba-tiba Leo menubruk dan menerkam dada prajurit itu hingga jatuh ke tanah.

Seorang prajurit lawan yang lain lagi menyerang dengan sebuah kapak yang ditebaskan ke kiri dan kanan; Kyra nyaris tak punya banyak kesempatan mengelak, maka ia mengayunkan tongkatnya dan menangkis serangan itu. Tongkat itu dipegangnya dalam posisi tegak, hingga tak cukup kuat untuk menahan tenaga pada tebasan kapak yang nyaris mengenai dirinya. Kyra pun mendapatkan pelajaran penting, yaitu ia tak seharusnya beradu kekuatan melawan prajurit yang satu itu. Kyra takkan mampu mengalahkan tenaga orang itu; Kyra harus bertarung sesuai dengan tenaganya, bukan seturut kekuatan lawan-lawannya.

Saat tak mampu lagi menahan kapak yang semakin dekat, Kyra teringat akan senjata rahasia buatan Brot itu. Dipuntirnya tongkat itu hingga terpisah menjadi dua bagian, dan ia melangkah mundur hingga kapak itu meleset, nyaris menebas tubuhnya. Prajurit itu tertegun karena tak menyangka hal ini, dan dalam satu gerakan, Kyra mengangkat kedua bagian tongkat itu lalu menusukkan bilah matanya yang tajam ke dada orang itu hingga ia tewas.

Sesaat kemudian terdengar teriakan dan pekikan dari belakangnya—lantas Kyra berpaling dan dilihatnya serombongan penduduk desa—ada para petani, tukang bangunan, pandai besi, pembuat senjata, tukang sembelih ternak—mereka semua menghunus senjatanya masing-masing—sabit, beliung, dan segala rupa senjata yang ada—dan mereka semua berlari menuju ke jembatan. Tak beberapa lama kemudian mereka semua telah bergabung dengan anak buah ayahnya dan siap untuk bertempur.

Kyra melihat Thomak si tukang sembelih menebas hingga putus lengan seorang prajurit lawan dengan parangnya, sementara Brine si tukang bangunan menghantam dada seorang musuh hingga roboh dengan palu godamnya. Para penduduk desa itu datang ke medan pertempuran dengan tenaga yang masih segar, dan betapa pun mereka terlihat bertarung dengan kikuk, kedatangan mereka berhasil membuat para Pasukan Pengawal kaget. Mereka semua bertempur dengan semangat berkobar, melampiaskan kemarahan yang tertahan selama bertahun-tahun dalam penjajahan. Kini, mereka akhirnya punya kesempatan untuk membela dirinya—kesempatan untuk membalas dendam.

Mereka mendesak mundur Pasukan Pengawal dengan serangan yang membabi buta, merobohkan para prajurit serta kuda-kudanya. Namun setelah beberapa saat bertempur dengan sengit, para pasukan amatir itu mulai bertumbangan, pekikan mereka terdengar silih berganti saat para Pasukan Pengawal yang bersenjata lebih lengkap dan memiliki kemampuan lebih handal mematahkan serangan mereka. Pasa Pasukan Pengawal merangsek menyerang, dan kini berganti para penduduk desa itu yang terdesak.

Jembatan itu kian penuh sesak saat bala bantuan Pasukan Pengawal menyerbu. Anak buah ayahnya yang kelelahan berulang kali tergelincir di atas tanah bersalju, satu persatu berteriak dan terjatuh, terbunuh oleh para Pasukan Pengawal. Mereka menghadapi gelombang serangan yang dahsyat, dan Kyra tahu bahwa ia harus segera melakukan sesuatu.

Kyra mengamati sekelilingnya dan tercetuslah sebuah ide di benaknya: ia melompat ke atas sebuah pagar batu di tepi jembatan, hingga ia dapat memandang dengan lebih leluasa; ia berdiri beberapa kaki di atas semua prajurit yang tengah bertempur itu, dan ia tak lagi peduli meski dirinya kini menjadi sasaran yang empuk. Ia adalah satu-satunya yang masih punya cukup tenaga untuk melompat ke tempat setinggi itu, lalu diambilnya busur panah, ia membidik dan mulai melesatkan anak panahnya.